Clock By Blog Tips

Friday, March 4, 2011

Khadafy Bombardir Brega


Tripoli - Pemimpin Libia Kolonel Moamar Khadafy, Kamis (3/3), kembali menyatakan keengganannya untuk mundur, bahkan membalas perlawanan rakyatnya dengan membombardir Kota Brega, depo kilang minyak terbesar di Libia. Para saksi mata di Kota Brega mengatakan, pesawat-pesawat jet tempur menjatuhkan sebuah bom di daerah antara perusahaan minyak dan daerah pemukiman. 

Pasukan Khadafy menguasai kota ini, Rabu pagi, namun kemudian dipaksa mundur oleh pasukan pemberontak pada hari yang sama. Khadafy kehilangan kendali atas sebagian wilayah Libia Timur selama kerusuhan dua minggu belakangan, tetapi dia bertekad akan mempertahankan kekuasaannya itu.
 
Dalam pidato televisi, Rabu (2/3), Khadafy mengatakan, ribuan rakyat Libia akan tewas jika militer AS dan negara-negara Barat melakukan intervensi ke Libia. Khadafy juga mengklaim bahwa dirinya akan terus melakukan perlawanan sampai perempuan dan laki-laki terakhir musnah di Libia.
"Kami akan terus melawan sampai laki-laki dan perempuan terakhir musnah di Libia dari wilayah utara hingga selatan," katanya dengan tegas dalam pernyataannya di televisi yang dikutip CNN.
 
Pemimpin, yang sudah berkuasa selama 41 tahun di Libia, itu menyatakan, konflik yang terjadi di negaranya saat ini berawal dari penyusup asing yang berada di Benghazi. Juru Bicara Liga HAM Libia Ali Zeidan, Rabu, mengatakan, sedikitnya 6.000 orang tewas sejak pemberontakan terhadap pemerintahan Moamar Kadhafy meletus dua pekan lalu. Jumlah itu mencakup 3.000 orang di ibu kota Tripoli, 2.000 orang di Benghazi--kota kedua terbesar di Libia yang dikuasai pemberontak--dan 1.000 orang lagi di kota-kota lain.
 
Juru bicara kelompok pemberontak mengatakan, pesawat-pesawat tempur Libia juga mengebom beberapa tempat di Ajdabiya, kota yang lebih besar yang dikuasai oleh pemberontak.
Serangan udara yang menggunakan rudal ini terjadi ketika pemberontak sedang merayakan kemenangan mereka atas pertempuran Rabu lalu di Brega, yang berhasil memukul mundur pasukan pemerintah.
 
Khadafy dikatakan telah merekrut sedikitnya 25.000 tentara bayaran untuk melawan pemberontakan rakyatnya yang menentang rezim otoriternya. Ali Zeidan mengatakan, Chad memimpin kelompok tentara bayaran itu, yang mencakup warga dari Niger, Mali, Zimbabwe, dan Liberia, yang dibayar antara 300 hingga 2.000 dolar AS sehari.
 
Khadafy telah membiayai gerakan pemberontakan di Chad, termasuk Presiden Idriss Deby, yang kini berkuasa, dan banyak dari bekas pemberontak itu masih tinggal di Libia sekarang ini. Mereka itu termasuk pendukung mantan diktator Hissene Habre dan mantan Presiden Goukouni Weddeye.
 
Sebagian besar pemerintah di negara-negara itu telah membantah keterlibatan warga mereka sebagai tentara bayaran di Libia. Namun, para pejabat Mali memastikan bahwa ratusan pemuda Tuareg dari Mali dan Niger telah direkrut Khadafy. Ag Abdou Salam Assalat, Presiden Majelis Daerah Kidal, di Mali, mengatakan, orang-orang muda pergi dalam jumlah besar ke Libia. Dia mengatakan, pemerintah daerah "berusaha menghalangi mereka" agar tidak pergi ke Libia, namun itu bukan perkara mudah, karena ada "dolar dan senjata" yang menunggu mereka.
 
Khadafy memainkan peran penting dalam mengakhiri pemberontakan Tuareg di Mali dan Niger pada Oktober 2009. Ia diduga menyebarkan uang dalam jumlah jutaan dolar AS kepada para pemberontak.
 
"Setidaknya 3.000 mantan gerilyawan Tuareg telah berkeliaran di alam bebas sejak tahun 2009, sehingga tidak mengherankan kalau sebagian dari mereka telah direkrut Khadafy, kepada siapa mereka sangat berutang," kata sebuah sumber Tuareg di Niger yang tidak mau disebut jati dirinya.
 
Secara terpisah, Menteri Luar Negeri Inggris William Hague, Kamis, melakukan pembicaraan via telepon dengan Jenderal Abdel Fatah Yunis mengenai situasi di Libia. Jenderal Abdel Fatah Yunis merupakan mantan Menteri Dalam Negeri Libia yang membelot. Inggris berupaya memperkuat hubungan dengan tokoh oposisi yang menentang kepemimpinan Moammar Khadafy.Yunis memperoleh penghormatan dari para pengunjuk rasa setelah membelot dan berpihak pada mereka dalam aksi protes di timur laut Benghazi.
 
"Mereka membicarakan tentang situasi terakhir di Libia, dampak yang dirasakan rakyat Libia, dan penyediaan bantuan kemanusiaan internasional," dikutip dari kantor Kementerian Luar Negeri Inggris. 
 
Inggris sangat prihatin dengan kekerasan yang terjadi di Libia, dan sedang memproses rencana untuk segala hal yang mungkin akan terjadi dengan semua sekutu, termasuk zona larangan terbang.
Perdana Menteri Inggris David Cameron telah menginstruksikan kepala militernya untuk mendalami kemungkinan penerapan zona larangan terbang di Libia.
 
Eropa dan Amerika Serikat, Kamis, mengirimkan pesawat, kapal, dan dana untuk membantu upaya evakuasi besar-besaran di perbatasan Tunisia dan Libia, dalam menjawab permintaan PBB untuk membantu ribuan orang yang ingin menghindari aksi kekerasan di Libia.
 
Sebagian besar dari ribuan orang yang berada di perbatasan adalah para pekerja migran laki-laki, sekitar 85 persen berasal dari Mesir, sementara yang lain berasal dari Bangladesh, China, dan Vietnam.
 
 
 
 
 
Suara Karya

0 komentar:

Post a Comment