Clock By Blog Tips

Tuesday, May 29, 2012

Mempertanyakan Masa Depan NATO


Masalah ekonomi dan krisis identitas menghantui eksistensi aliansi pertahanan Atlantik Utara.

SUARA kamera yang tengah mengabadikan 28 pemimpin negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) baru sesaat terdengar tatkala gelegar halilintar menggema di sekitar Stadion Soldier Field, Kota Chicago, Amerika Serikat, 20 Mei lalu. Presiden AS Barack Obama yang menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) NATO kemudian meminta rekan-rekannya memasuki ruang konferensi untuk melanjutkan sesi foto bersama. Setelah semua berkumpul di karpet merah, Obama memberi aba-aba. "Melambai," ujarnya, yang diikuti lambaian 28 kepala negara nyaris serentak.

Foto yang tercipta dalam kesempatan itu seperti sengaja dirancang untuk menampilkan kesan keselarasan dan kekompakan di antara negara-negara anggota NATO, seolah menutupi fakta bahwa aliansi NATO tengah digerus masalah ekonomi dan krisis identitas.

Ekonomi

Sejak NATO dibentuk pada era Perang Dingin, AS senantiasa menjadi tulang punggung pendanaan aliansi pertahanan tersebut. Negara-negara Eropa memang sempat menyumbang 34% dari pembiayaan operasi militer NATO ketika Perang Dingin usai di penghujung 1980-an.

Namun, di tengah krisis ekonomi yang melanda zona euro saat ini, sejumlah negara memangkas anggaran pertahanan sehingga kontribusi Eropa kepada pendanaan NATO turun drastis menjadi 21%. Bahkan, hanya empat negara yang anggaran militernya melampaui 2% dari pertumbuhan produk domestik bruto, yakni Inggris, Prancis, Yunani, dan Albania. Sisa pendanaan operasi militer NATO tentu ditanggung 'Negeri Paman Sam'. Padahal, untuk satu dekade berikut, Pentagon harus memangkas belanja militer hingga mencapai US$487 miliar.

Persoalan pendanaan NATO telah disinggung beberapa kali oleh Robert Gates semasa dia menjabat menteri pertahanan AS. Menurut dia, identitas 'kolektivitas militer' NATO pantas dipertanyakan mengingat nyaris semua anggotanya kurang berperan aktif dalam menopang keberadaan aliansi.

"NATO ialah organisasi militer-politik demi kepentingan pertahanan kolektif. Karena itu, suatu pihak tidak bisa menikmati semua keuntungan dan aset-aset (NATO) tanpa berpartisipasi atau memberikan bagian," papar Menteri Pertahanan Belgia Pieter de Crem di sela-sela KTT NATO.

De Crem menambahkan tantangan NATO saat ini ialah menanggung tiap-tiap bagian sehingga halangan pendanaan dapat teratasi.
Sejauh ini, cara NATO mengatasi halangan tersebut ialah dengan menerapkan 'pertahanan cerdik', konsep penghematan melalui pembagian peralatan dan fasilitas militer di antara negara anggota serta menugasi setiap negara untuk mengambil spesialisasi pertahanan.

"Kami tidak akan mendapat uang untuk sektor pertahanan dalam waktu dekat, mari bersikap realistis.... Karena itu, penting bagi kami untuk menerapkan cara baru. Saya pikir kerja sama multinasional ialah jawaban untuk masa depan," papar Sekretaris Jenderal NATO Anders Fogh Rasmussen.

Lewat konsep 'pertahanan cerdik', KTT NATO di Chicago menyetujui 20 proyek multinasional, termasuk kesepakatan penggunaan amunisi untuk pesawat-pesawat tempur dari berbagai sumber dan negara. Juga, sistem pool pesawat patroli maritim dari berbagai negara anggota.

Identitas

Selain krisis keuangan, masalah lain yang dihadapi NATO ialah peran apa yang seharusnya mereka emban di masa depan? Apakah aliansi itu mesti melanjutkan operasi militer di belahan lain dunia atau berkonsentrasi mempertahankan wilayah negara-negara anggotanya?

Perubahan sejatinya bukan hal baru bagi NATO. Sejak dibentuk sebagai pakta pertahanan yang merekatkan Amerika Utara dan Eropa Barat, aliansi tersebut mampu bertahan dari persaingan dengan negara-negara anggota Pakta Warsawa di masa Perang Dingin. Pada 1990-an, NATO juga sanggup melewati krisis di Yugoslavia.

Afghanistan adalah misi perdana NATO yang membuat aliansi tersebut bergerak ke luar area operasi di Eropa dan Amerika Utara untuk pertama kalinya. Dalam misi itu, NATO merupakan inti Pasukan Keamanan Internasional yang terdiri dari 50 negara.

Tahun lalu, NATO kembali melakukan perubahan dengan menyediakan pasokan persenjataan dan armada pesawat tempur di Libia guna menumbangkan Moamar Khadafi. Prancis dan Inggris merupakan dua negara anggota NATO yang memimpin operasi tersebut.

Menteri Pertahanan Republik Ceko Alexandr Vondra berargumen isu krusial bagi NATO saat ini bukan penambahan anggota atau operasi di luar wilayah, melainkan pertahanan kolektif di antara negara-negara anggota.

Argumentasi Vondra dilandasi Pasal 5 kesepakatan NATO, yang berbunyi, 'Serangan terhadap salah satu negara anggota NATO merupakan serangan terhadap NATO secara keseluruhan'.

Pemimpin lain, semisal Perdana Menteri Inggris David Cameron, menepis gagasan itu. "Menurut saya, dan sebagaimana disepakati KTT ini, NATO harus melakukan sebaliknya. Kami harus melihat ke luar, menegaskan relevansi NATO, serta memastikan kesiapan meredam ancaman yang ada di luar teritorial sekaligus ancaman di wilayah kami sendiri."

Jamie Shea, deputi asisten sekjen NATO di bidang tantangan keamanan baru, memprediksi NATO amat mungkin menjelma menjadi aliansi yang tidak menempuh operasi besar. Meski sejumlah krisis dapat terjadi mendadak, intervensi NATO di masa mendatang mungkin tidak mengikuti pola kejadian di masa lalu.

'Operasi NATO di masa depan amat mungkin berfokus pada operasi udara dan laut, alih-alih penggelaran operasi darat', tulis Shea dalam artikel yang dimuat laman lembaga kajian Carnegie Endowment for International Peace.

'Kemudian, tujuan operasi-operasi (NATO di masa depan) bersifat terbatas dan jangka pendek, melibatkan intelijen dan pasukan khusus, serta meningkatkan penggunaan pesawat nirawak yang menggantikan peran serdadu', lanjut Shea.

Mengenai imbas operasi di Libia terhadap perubahan di tubuh NATO, Shea punya pendapat tersendiri. 'Jika operasi di Libia menjadi model untuk masa depan, tidak semua negara anggota akan memutuskan berpartisipasi. Khususnya, di tingkat pelaksanaan operasi'.

Sejalan dengan pendapat Shea, Clara O'Donnell selaku peneliti di lembaga kajian Brookings Institution mengatakan operasi di Libia menunjukkan ketidakpopuleran operasi militer di luar wilayah NATO. O'Donnell merujuk Polandia dan Belanda--negara-negara yang secara tradisional aktif dalam operasi-operasi NATO--memilih absen saat Inggris dan Prancis menggempur Libia.

Meski sejumlah analis menilai NATO mulai menunjukkan pertanda tidak relevan dengan perkembangan zaman, pengamat lainnya optimistis NATO akan berperan di masa mendatang.

"(Operasi di) Afghanistan akan berakhir suatu hari. Namun akan ada suatu masalah di masa mendatang. Saya tidak bisa memprediksi kapan dan di mana masalah itu bakal muncul. Yang jelas, ketika masalah timbul, negara-negara Barat memerlukan wahana untuk beraksi. Sampai kita memiliki alat yang lebih baik, aliansi tersebut seyogianya dipertahankan," jelas Leo Michel dari lembaga kajian The Institute for National Strategic Studies yang merupakan bagian dari National Defense University, AS.


Sumber : MI

0 komentar:

Post a Comment