Libya dan Suriah punya masalah serupa. Warga dua negara itu menghadapi kekerasan ekstrem yang dilakukan pemerintah mereka sendiri. Atas dua kasus yang sama itu, reaksi Amerika Serikat (AS) berbeda. Terhadap Libya, AS melancarkan serangan militer, tetapi terhadap Suriah tidak. Mengapa?
Pertanyaan itu telah dimunculkan dalam menanggapi reaksi AS yang sangat berbeda terhadap kekerasan di Libya dan Suriah. Lebih dari 400 orang telah tewas di Suriah dalam beberapa minggu terakhir saat Damaskus menumpas demonstran yang memperjuangkan reformasi, demikian menurut Syrian Human Rights Information Link, sebuah kelompok hak asasi manusia terkemuka.
PBB mengatakan, pihaknya punya informasi bahwa 76 orang tewas di Suriah hanya pada Jumat lalu saja. Pembantaian itu terjadi dalam sebuah pawai damai. Rezim Presiden Bashar al-Assad telah menyebut para pengunjuk rasa sebagai "kelompok kriminal bersenjata," dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah kepada tuntutan mereka.
Presiden AS, Barack Obama, telah mengutuk kekerasan di Suriah itu dan sedang mencari cara untuk meningkatkan tekanan terhadap rezim negara itu, demikian menurut Sekretaris Pers Gedung Putih, Jay Carney. Namun, sejauh ini tanggapan AS baru sebatas kata-kata itu.
Di Libya, reaksi AS sama sekali berbeda ketika orang kuat negara itu, Moammar Khadafy, berjanji untuk tidak menunjukkan rasa belas kasihan terhadap penduduk kota Benghazi yang dikuasai pemberontak. Washington bekerja mati-matian di belakang layar di PBB untuk memenangkan mandat internasional bagi blokade laut, zona larangan terbang dan pemberian izin bagi tindakan militer demi melindungi warga sipil. Obama berjanji, tidak akan menggunakan pasukan darat, tetapi kekuatan udara AS telah digunakan untuk menghancurkan unsur-unsur kekuatan Khadafy sebelum kontrol operasi diserahkan kepada komandan NATO.
Gedung Putih mengatakan, situasi Libya dan Suriah tidak bisa dibandingkan. "Libya merupakan sebuah situasi yang unik," kata Carney kepada wartawan, Senin. "Kami punya porsi besar wilayah negara itu yang berada di luar kendali Moammar Khadafy (dan) kami punya konsensus internasional untuk bertindak. Kami mendapat dukungan dari Liga Arab untuk bertindak secara multilateral."
Namun Washington, kata dia, sedang mencari berbagai pilihan kebijakan yang mungkin untuk Suriah. Pemerintah AS, kata dia, sedang melihat kemungkinan "sanksi untuk menanggapi kekerasan dan untuk membuat jelas bahwa perilaku semacam itu tidak dapat diterima."
Menteri Pertahanan AS, Robert Gates, Selasa, menambahkan, "Nilai-nilai dan prinsip-prinsip Amerika berlaku untuk semua negara. Tanggapan kami di setiap negara harus disesuaikan dengan negara itu, dan keadaan khas negara tersebut."
Menurut Danielle Pletka, wakil presiden untuk studi kebijakan luar negeri dan pertahanan di American Enterprise Institute, sebuah lembaga think tank Washington yang konservatif, sebagian dari alasan mengapa pemerintahan Obama melakukan intervensi militer di Libya dan tidak Suriah karena kekerasan di Libya terjadi duluan. "Jadi masyarakat internasional menanggapi yang di sana dulu."
Protes di Benghazi pecah pertama kali pada pertengahan Februari lalu. Protes di kota Daraa di Suriah dimulai bulan lalu setelah sebuah penumpasan yang penuh kekerasan oleh pasukan keamanan Suriah terhadap demonstran yang menggelar aksi secara damai guna memprotes penangkapan pemuda yang menulis grafiti anti-pemerintah.
Kedua, kata Pletka kepada CNN, tidak ada konsensus untuk Suriah sebagaimana yang ada untuk Libya. Suriah, sebagai kebalikan dari Libya, berdiri di jantung dunia Arab. Assad memiliki lebih banyak teman dan sekutu yang bisa dipanggil. "Assad seorang diktator, seorang sponsor terorisme, (dan) seorang preman," kata Pletka. "Anda bisa berpendapat bahwa dia lebih buruk dari Khadafy. Namun terhadap Suriah, Liga Arab tidak bisa berbuat banyak. "(Mereka) lebih dekat dengan Assad."
Faktor lain, kata Pletka, Khadafy dituduh telah berusaha untuk membunuh Raja Saudi, Abdullah, pada tahun 2003 yang ketika itu masih sebagai putra mahkota. Jadi, "ada faktor antipati pribadi antara Khadafy dan pemimpin Arab lainnya. Pada saat yang sama, Israel memiliki hubungan bermusuhan dengan tetangganya itu, tapi kepemimpinan Israel "sangat nyaman dengan setan yang diketahuinya" di Damaskus.
Obama, kata Pletka, telah menunjukkan keengganan ekstrem untuk terlibat dalam aksi militer sepihak. Soalnya, menggulingkan Assad akan mengubah seluruh dinamika politik di Timur Tengah yang berarti akan mempengaruhi kepentingan Amerika Serikat, kata Pletka. Ia mencatat Suriah berhubungan dekat dengan Iran dan organisasi seperti Hezbollah, Hamas dan Jihad Islam. Menurut perkiraan dia, tindakan yang lebih terpadu tidak akan muncul untuk Suriah kecuali dan sampai ada konsensus internasional yang lebih tegas.
Menurut Rick Nelson, ahli terorisme di Center for Strategic dan International Studies, sebuah think tank Washington yang lain, aksi militer di Libya menjadi prioritas sebagian mungkin karena terkait dengan kekhawatiran terhadap Al Qaeda. Kelompok teroris Al Qaeda telah dikenal dapat menggunakan negara yang dalam kekacauan untuk mencari tempat perlindungan yang aman, kata Nelson. Ia mencatat bahwa pejuang asing Al-Qaeda terbesar kedua di Irak berasal dari Libya. Saat Libya menjadi lebih tidak stabil, itu akan menjadi prioritas Barat untuk memastikan bahwa negara tidak menjadi rumah perlindungan para pemimpin Al-Qaeda.
Kompas
0 komentar:
Post a Comment