Paris - Pesawat-pesawat tempur Prancis telah menghancurkan sedikitnya lima pesawat dan dua helikopter militer Libia di pangkalan udara Misrata dalam 24 jam terakhir.
Sementara itu, Pentagon (Departemen Pertahanan AS) mengungkapkan, serangan koalisi Barat di Libia kemarin berlanjut dengan 160 serangan. Serangan tersebut meningkat dibanding Sabtu pekan lalu sebanyak 153 misi. Juru bicara pasukan koalisi Barat, Thierry Burkhard, Minggu, mengatakan, ketujuh kekuatan udara Libia itu dihancurkan ketika berada di pangkalan, dekat kota Misrata yang dikuasai pemberontak. Pesawat-pesawat militer Libia itu dihancurkan saat sedang bersiap melakukan serangan. Satu patroli jet tempur Rafale Prancis, yang didukung sebuah AWACS Hawkeye E2-C, melakukan serangan udara semalam. Sementara sekitar 20 pesawat Prancis didukung empat tanker dan sebuah AWACS E3F menghantam sejumlah sasaran. Serangan-serangan koalisi Barat itu bagian mandat PBB untuk menghentikan serangan pasukan Moamar Khadafy terhadap pemberontak yang berusaha mengakhiri 41 tahun pemerintahannya di daerah Misrata dan Zintan. Didukung serangan udara koalisi Barat, pemberontak telah merebut kembali kota strategis Ajdabiyah, Sabtu lalu, setelah pertempuran sepanjang malam yang memberikan kesan perubahan kondisi pada pasukan Khadafy di timur. "Pasukan pro Khadafy sebelumnya menggempur kota itu dengan tembakan tank, mortir, dan artileri, yang baru berhenti ketika pesawat koalisi tampak di atas," kata seorang pemberontak pada Reuters. Menurut pasukan Prancis, kelima pesawat yang hancur di Misrata itu adalah jet-jet tempur Galeb dan helikopter MI-35. Sementara itu, dua Mirage 2000-5 masing-masing milik Prancis dan Qatar telah melakukan misi pengintaian gabungan di wilayah udara Libia dari sebuah pangkalan udara di Yunani. Pada awal pekan ini, pesawat-pesawat Prancis menghancurkan sebuah pesawat Libia yang lain sesaat setelah pesawat itu mendarat di Misrata, salah satu kota penting di Libia timur. Dalam kesempatan terpisah, Pentagon (Departemen Pertahanan AS) mengungkapkan, serangan koalisi Barat di Libia berlanjut hingga kemarin, dengan 160 serangan, dibanding sehari sebelumnya sebanyak 153 misi. Dua pertiga serangan (96) melibatkan serangan udara dan sisanya buat penerapan zona larangan terbang, demikian data yang diperoleh dalam 24 jam sampai Sabtu, pukul 19:30 GMT (Minggu, pukul 02:30 WIB), dan disiarkan oleh Departemen Pertahanan AS. Penerapan zona larangan terbang dalam beberapa hari mendatang akan diserahkan kepada NATO, sementara perlindungan warga sipil, yang meliputi serangan darat terhadap pasukan Libia, akan dilakukan oleh pasukan koalisi Barat. Sejak 19 Maret, ketika operasi militer dimulai, pasukan koalisi Barat telah melakukan 1.257 penerbangan, yang 540 di antaranya meliputi serangan. Amerika Serikat menyediakan sebagian besar kekuatan militer dengan 787 penerbangan. Sedangkan negara lain yaitu Prancis, Inggris, Kanada, Italia, Spanyol, Belgia, Denmark dan Qatar melakukan 470 penerbangan. Serangan udara Prancis, AS, dan Inggris terhadap pemerintahan Khadafy dimulai satu pekan lalu berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengesahkan "semua cara yang diperlukan" untuk melindungi warga sipil dan menegakkan zona larangan terbang di negeri tersebut. Sementara itu, pasukan Khadafy menyerang kota kecil Misrata, 214 kilometer di sebelah timur ibu kota Tripoli, pada Jumat (25/3) dan Sabtu, sehingga menewaskan dan melukai beberapa orang. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Agus Gumiwang Kartasasmita mengharapkan pemerintah memberikan kontribusi untuk memperjuangan perdamaian dunia guna mendesak Pasukan Bangsa-Bangsa (PBB) menggantikan pasukan sekutu di Libia. "Pemerintah harus secara gigih memperjuangkan perdamaian dunia. Apabila dianggap perlu melibatkan intervensi pasukan dari luar negara bermasalah, maka perlu diselesaikan dalam kerangka PBB," kata Agus dalam perbincangan dengan Suara Karya, Minggu (27/3). Menurutnya, intervensi kekuatan luar bisa menimbulkan cycle kekerasan yang tidak akan pernah berhenti. "Pasukan koalisi yang mengintervensi di Libia harus diganti dengan UN Force, dan pasukan Arab Saudi yang didatangkan ke Bahrain juga harus dipaksakan untuk diganti dengan UN Force," ujarnya. Menurut Agus Gumiwang, di sisi lain, sebenarnya banyak cara yang bisa dilakukan sebelum menggunakan forces, seperti dialog, dan ini juga yang harus didorong oleh pemerintah. "Dialog pun menurut harus dipimpin dan dalam kerangka UN, sehingga bisa lebih objektif dan lebih netral dari berbagai kepentingan. Dalam konteks UN, Indonesia bisa berperan," katanya. Ia menilai, tidak seharusnya sebuah negara atau koalisi ikut campur dalam masalah yang dihadapi oleh negara tertentu. "Negara yang sedang menghadapi masalah harus diberi kepercayaan bahwa mereka bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Mesir dan Tunisia merupakan contoh yang baik. Begitu juga dengan pengalaman Indonesia," kata Agus. Apabila RI berhasil memperjuangkan hal tersebut, ini merupakan sebuah kontribusi mulia dalam menciptakan perdamaian dunia. Di sisi lain, lanjutnya, ia juga menegaskan bahwa dirinya tidak mendukung adanya tindakan otoriter dan sewenang-wenang dari sebuah rezim atau penguasa yang dilakukan terhadap warganya sendiri, bahkan dengan menyatakan perang terhadap warga sendiri dengan menggunakan kekuatan militer. "Sesungguhnya militer hanya dapat digunakan dalam keadaan perang dengan negara lain. Yang lebih menyedihkan lagi adalah adanya indikasi bahwa Khadafy menyewa pasukan bayaran dari negara tetangga untuk membunuh warganya sendiri," ujarnya. Menurut Agus, karena ada dua kutub yang berbeda, yaitu pelanggaran HAM dan demokrasi yang dilakukan Khadafy serta intervensi dari luar dalam menyelesaikan masalah di Libia, di mana keduanya tidak bisa dibenarkan, maka masalah Libia harus diselesaikan sepenuhnya oleh PBB. "Apabila memang diperlukan adanya kekuatan bersenjata dari luar Libia dalam rangka menstabilkan Libya, maka pasukan tersebut harus UN Force, pasukan PBB," katanya. Disayangkannya bahwa liga Arab mendukung apa yang dilakukan koalisi. Muncul kecurigaan bahwa mindset dan paradigma berpikir dari penguasa di negara-negara yang tergabung dalam liga Arab tersebut masih sama dan tetap kental terhadap kepentingan geopolitik dan ekonomi, khususnya energi negara yang diwakilinya, termasuk kepentingan negara yang ada dalam koalisi tersebut. Menurutnya, proses demokratisasi yang terjadi di Arab dan North Africa awalnya bukan by design, semua ini hanyalah merupakan hukum alam, yang cepat atau lambat pasti akan terjadi. Bahkan, proses yang dimulai dari Tunisia, Mesir, dan seterusnya ini terlambat. Kenapa terlambat, karena sesungguhnya by design beberapa penguasa-penguasa di kawasan yang baru terguling dan sedang menghadapi masalah tersebut diupayakan dipertahankan oleh negara-negara besar di dunia, yang memunyai begitu banyak kepentingan, sehingga dengan mempertahankan penguasa-penguasa otoriter merupakan cara termudah untuk menjaga kepentingan mereka. Suara Karya
0 komentar:
Post a Comment