Yangon – Burma resmi mengakhiri pemerintahan junta militernya, Rabu (30/3), dengan menyerahkan kekuasaan ke tangan pemerintahan sipil hasil pemilu 7 November 2010.
Namun, kemajuan demokratisasi Burma tetap diragukan karena orang-orang yang dekat dengan junta masih berada dalam pemerintahan sipil itu.
Pemilu 7 November dinilai berbagai kalangan sebagai tipuan kotor junta militer untuk mempertahankan kekuasaan yang berkedok pemerintahan sipil.
Jalannya pemilu diwarnai tuduhan berbagai kecurangan, intimidasi, penggelembungan suara, peraturan yang menguntungkan partai bentukan junta, dan absennya tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi beserta partai yang dipimpinnya, NLD (National League for Democracy).
NLD sebelumnya sudah dibubarkan junta. Mengutip perintah yang dikeluarkan oleh diktator Burma, Jenderal Th an Shwe, televisi pemerintah mengabarkan bahwa pemerintahan junta militer atau SPDC (State Peace and Development Council) secara resmi dibubarkan.
SPDC sudah menguasai Burma selama hampir 50 tahun. Ada kesan bahwa Th an Shwe, yang memerintah Burma dengan tangan besi sejak 1992, akan turun takhta dan tak lagi menjadi panglima angkatan bersenjata Burma. Namun, para analis menilai Th an Shwe kemungkinan besar tetap memerintah negeri itu dari balik layar.
“Tiap pejabat pemerintahan, untuk sementara, tetap diharuskan memberi laporan kepadanya (Th an Shwe),” kata Aung Naing Oo, pengamat politik Burma dari kantornya di Th ailand. Ia menyatakan transisi kekuasaan ini tetap mirip dengan cara diktator Burma sebelumnya, Ne Win. Ia mengalihkan kekuasaannya kepada Th an Shwe, dan terbukti tidak membawa Burma melangkah maju dalam demokrasi. “Negeri kami telah hidup tanpa demokrasi selama 50 tahun terakhir.
Jadi, transisi ini kemungkinan besar tetap bersifat coba-coba saja,” tambah Naing Oo. Pelantikan Presiden SPDC adalah dewan petinggi militer yang sebelumnya bernama SLORC (State Law and Order Restoration Council).
Lembaga ini mulai berkuasa di Burma sejak 1988. Namun, Burma, sejak 1962, sudah berada dalam kekuasaan militer, dan para petingginya tetap berkuasa. Selain membubarkan SPDC, Rabu pagi, Burma melantik mantan perdana menteri Th ein Sein sebagai presiden. Th ein Sein adalah pensiunan jenderal yang selama ini dikenal sebagai sekutu dekat Th an Shwe.
Th ein Sein merupakan salah satu jenderal yang telah mundur kemiliteran untuk dapat diberi status warga sipil kemudian mengikuti pemilu 7 November.
Seiring berlangsungnya tran sisi kekuasaan ini, namanama berbagai lembaga pemerintahan juga diganti dengan nama yang lebih mengesankan pemerintahan sipil.
Nama kantor SPDC, misalnya, diubah menjadi “Departemen Administrasi Umum” sehingga benar-benar terkesan bebas dari aroma kemiliteran. Partai bentukan junta, USDP (Union Solidarity and Development Party), mengklaim berhasil menang telak dalam pemilu 7 November. Namun, kemenangan ini ditolak beberapa partai lainnya.
Namun, kemajuan demokratisasi Burma tetap diragukan karena orang-orang yang dekat dengan junta masih berada dalam pemerintahan sipil itu.
Pemilu 7 November dinilai berbagai kalangan sebagai tipuan kotor junta militer untuk mempertahankan kekuasaan yang berkedok pemerintahan sipil.
Jalannya pemilu diwarnai tuduhan berbagai kecurangan, intimidasi, penggelembungan suara, peraturan yang menguntungkan partai bentukan junta, dan absennya tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi beserta partai yang dipimpinnya, NLD (National League for Democracy).
NLD sebelumnya sudah dibubarkan junta. Mengutip perintah yang dikeluarkan oleh diktator Burma, Jenderal Th an Shwe, televisi pemerintah mengabarkan bahwa pemerintahan junta militer atau SPDC (State Peace and Development Council) secara resmi dibubarkan.
SPDC sudah menguasai Burma selama hampir 50 tahun. Ada kesan bahwa Th an Shwe, yang memerintah Burma dengan tangan besi sejak 1992, akan turun takhta dan tak lagi menjadi panglima angkatan bersenjata Burma. Namun, para analis menilai Th an Shwe kemungkinan besar tetap memerintah negeri itu dari balik layar.
“Tiap pejabat pemerintahan, untuk sementara, tetap diharuskan memberi laporan kepadanya (Th an Shwe),” kata Aung Naing Oo, pengamat politik Burma dari kantornya di Th ailand. Ia menyatakan transisi kekuasaan ini tetap mirip dengan cara diktator Burma sebelumnya, Ne Win. Ia mengalihkan kekuasaannya kepada Th an Shwe, dan terbukti tidak membawa Burma melangkah maju dalam demokrasi. “Negeri kami telah hidup tanpa demokrasi selama 50 tahun terakhir.
Jadi, transisi ini kemungkinan besar tetap bersifat coba-coba saja,” tambah Naing Oo. Pelantikan Presiden SPDC adalah dewan petinggi militer yang sebelumnya bernama SLORC (State Law and Order Restoration Council).
Lembaga ini mulai berkuasa di Burma sejak 1988. Namun, Burma, sejak 1962, sudah berada dalam kekuasaan militer, dan para petingginya tetap berkuasa. Selain membubarkan SPDC, Rabu pagi, Burma melantik mantan perdana menteri Th ein Sein sebagai presiden. Th ein Sein adalah pensiunan jenderal yang selama ini dikenal sebagai sekutu dekat Th an Shwe.
Th ein Sein merupakan salah satu jenderal yang telah mundur kemiliteran untuk dapat diberi status warga sipil kemudian mengikuti pemilu 7 November.
Seiring berlangsungnya tran sisi kekuasaan ini, namanama berbagai lembaga pemerintahan juga diganti dengan nama yang lebih mengesankan pemerintahan sipil.
Nama kantor SPDC, misalnya, diubah menjadi “Departemen Administrasi Umum” sehingga benar-benar terkesan bebas dari aroma kemiliteran. Partai bentukan junta, USDP (Union Solidarity and Development Party), mengklaim berhasil menang telak dalam pemilu 7 November. Namun, kemenangan ini ditolak beberapa partai lainnya.
Koran Jakarta
0 komentar:
Post a Comment