Clock By Blog Tips

Thursday, November 24, 2011

Arti Penting Pangkalan Militer AS di Darwin


Sejak ditutupnya pangkalan Angkatan Laut Subik dan Pangkalan Angkatan Udara Clark di Filipina, AS seakan kehilangan tempat berpijak bagi kehadiran militernya di Asia Tenggara. Berakhirnya Perang Dingin memang telah mengurangi kebutuhan akan pangkalan militer bagi AS di kawasan ini.

Namun pertumbuhan kekuatan ekonomi China yang melesat sejak 20 tahun terakhir dan kemungkinan negeri tirai bambu itu menjadi kekuatan militer besar di kawasan Asia Pasifik dalam kurun waktnu 20-30 tahun mendatang, menyebabkan AS membutuhkan kembali pangkalan militer di kawasan ini.

Ketika AS menghadapi kesulitan untuk mendapatkan tempat bagi militernya di Asia Tenggara, tiada lagi negara yang menjadi pilihan AS kecuali Australia.

AS dan Australia memang telah terikat ke dalam aliansi militer sejak ditandatanganinya perjanjian aliansi militer tiga negara Australia, New Zealand dan United States yang dikenal sebagai ANZUS pada 1951.

New Zealand menarik diri dari aliansi militer tersebut pada 1980an, karena negeri itu tidak ingin menjadi sasaran serangan militer atau serangan nuklir dari Rusia atau pun China. Australia masih terus mengembangkan kekuatan militernya yang diproyeksikan untuk menghadapi perang besar di Asia Pasifik pada 2030an. 

Australia adalah negara yang sejak lama selalu takut akan adanya serangan dari negara-negara tetangganya di utara, khususnya dari Uni Soviet/Rusia dan China.

Bila kita melihat kembali kerjasama militer AS-Australia, kedua negara itu telah mencapai tahapan kerjasama pada tingkatan yang maju. Kedua negara bukan saja membangun pusat-pusat komunikasi intelijen di West Coast Naval Base, Nurrungar dan wilayah tengah Australia, melainkan juga membangun prototipe peluru kendali strategis lintas kawasan yang dapat digunakan bila terjadi perang nuklir.

Untuk memperkuat pertahanan negaranya yang tidak mungkin dibangun secara sendirian, Australia juga membangun jaring-jaring kerjasama pertahanan dengan negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang dulu dikenal dengan Agreement on Maintaining Security between Australia and Indonesia pada era PM Paul Keating (1995) dan digantikan dengan The Lombok Treaty pada era PM John Howard yang ditandatangani pada 2006.

Dibangunnya pangkalan militer AS di Darwin, Australia, memenuhi kepentingan AS dan Australia untuk menjaga kepentingan militer, politik dan ekonominya di Asia Pasifik. Meski AS dan Australia tidak secara spesifik menyebut negara mana yang dapat mengganggu keamanan kawasan, tak ayal lagi bahwa kemungkinan ancaman militer tersebut akan datang dari China yang kini menjadi The Rising Star.

Bagi AS, China adalah negara yang dapat mengancam kepentingan militer, politik dan ekonominya di kawasan ini. Meski Asia Tenggara adalah medan pertarungan militer yang tanggung bagi negara-negara besar, tak ayal lagi kini menjadi kawasan yang cukup penting, apalagi masih ada soal klaim teritorial yang saling tumpang tindih antara China dengan beberapa negara ASEAN terkait dengan Kepulauan Paracel dan Spratly.
Di sisi lain, bagi Australia, meski hubungan dengan China amat baik dan ekonomi Australia sebagian besar juga tergantung pada ekspor ke China, Australia belum dapat menghilangkan persepsinya tentang China sebagai “Bahaya Kuning” atau “Bahaya Merah”.

Persoalan yang muncul kemudian adalah, benarkah janji AS dan Australia yang mengatakan pangkalan militer di Darwin tersebut hanya sebagai tempat latihan dan juga pangkalan marinir AS untuk melakukan operasi militer selain perang untuk menangani bencana alam di kawasan?

Pengalaman saya dalam mengikuti berbagai simposium mengenai keamanan Asia Pasifik ataupun kursus pertahanan dan keamanan yang diselenggarakan oleh komando armada angkatan laut AS di Honolulu, AS selalu mencari tempat bagi operasi militernya di Asia Tenggara dan juga sangat peduli pada persoalan keamanan maritim di Asia Tenggara.

Kita tidak dapat begitu saja percaya bahwa pangkalan militer tersebut hanya sebagai tempat bagi marinir AS untuk membantu negara-negara Asia Tenggara dalam menghadapi bencana alam.

Kita sudah mengalami masa di mana militer AS melakukan intervensi atas persoalan politik di negeri ini pada 1950an saat AS menerapkan “Subversive as US Foreign Policy” dengan membantu PRRI dan Permesta. Intervensi militer itu dilakukan melalui pangkalan AU AS di Clark, Filipina, dan pangkalan militernya di Taiwan.

Kita harus menjaga agar masalah Papua tidak berkembang ke arah yang buruk, karena dapat menimbulkan intervensi asing atas nama kemanusiaan. Pangkalan militer AS di Darwin yang hanya 820 km dari Papua bukan mustahil dapat diginakan oleh AS untuk melakukan Humanitarian Intervension.


Sumber : Inilah.com

0 komentar:

Post a Comment