![]() |
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono |
Jakarta - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meminta semua pihak memandang masalah yang terjadi di Papua dan Papua Barat akhir-akhir ini secara jernih dan utuh. Dengan demikian, tidak ada salah persepsi terhadap langkah penegakan hukum yang dilakukan pemerintah.
Demikian dikemukakan Presiden SBY saat membuka sidang kabinet paripurna di Ruang Rapat Utama Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Kamis (27/10). Terkait hal ini, sejumlah pengamat mengingatkan pemerintah, masalah Papua memerlukan penyelesaian amat serius dan pendekatan komprehensif agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan.
Hal itu disampaikan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, dan Kadiv SDM dan Peneliti DPP Organisasi Advokat Indonesia (OAI) Adi Partogi Singal Simbolon di Jakarta kemarin.
SBY mengatakan, sejak tujuh tahun lalu, pemerintah sudah mengubah kebijakan pendekatan keamanan di Papua menjadi pendekatan pembangunan yang mendorong pemerataan kesejahteraan.
Oleh karena itu, menurut dia, penegakan hukum yang dilakukan aparat keamanan dalam sejumlah peristiwa terakhir hendaknya tidak dilihat sebagai upaya mengabaikan hak asasi manusia.
"Berkaitan dengan itu, semua realitasnya masih ada gerakan politik dan gangguan keamanan, termasuk gangguan kedaulatan. Oleh karena itu, kita harus jernih, termasuk dunia juga harus jernih melihat masalah ini. Kebijakan kita tepat. Kebijakan kita tidak lagi melakukan operasi militer secara masif. Satuan TNI di sana menjaga keamanan dan unit kepolisian menegakkan hukum," katanya.
Pernyataan Presiden itu disampaikan menyusul adanya infomasi dari pemberitaan di jaringan televisi internasional tentang permintaan Amnesti Internasional kepada Pemerintah Indonesia untuk membebaskan semua tahanan yang terkait peristiwa gangguan keamanan belum lama ini.
"Jika kesalahan dan pelanggaran dilakukan pihak lain, maka perlu penegakan hukum, jelaskan duduk persoalannya ini. Pesan saya kepada Panglima TNI dan Kapolri, cegah tindakan petugas di lapangan yang melebihi batas kepatutannya," katanya.
SBY mengatakan, apabila ada oknum TNI atau oknum polisi yang melakukan tindakan melebihi batas kepatutan dan juga pelanggaran hukum, maka harus diberi sanksi hukum yang sesuai. Namun sebaliknya, jika ada kelompok lain yang melanggar hukum, termasuk upaya mengganggu kedaulatan, tentu juga harus menghadapi proses hukum.
Pada kesempatan itu, SBY menugasi Menko Polhukam Djoko Suyanto agar dapat menjelaskan kepada Amnesti Internasional apa yang telah dilakukan Indonesia, termasuk sejumlah langkah nonkeamanan untuk menyelesaikan masalah di Papua dan juga proses penegakan hukum yang dilakukan. SBY juga menegaskan, Indonesia adalah negara demokrasi dan negara yang menjunjung tinggi aturan hukum.
Sidang kabinet paripurna yang berlangsung mulai pukul 14.00 WIB itu dihadiri juga oleh Wakil Presiden Boediono. Seluruh jajaran menteri dan wakil menteri hadir. Juga tampak Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, Kapolri Jenderal Timur Pradopo, Kepala BIN Letjen Marciano Noorman, dan Jaksa Agung Basrief Arief.
Sementara itu, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono membantah tuduhan soal dana 14 juta dolar Amerika Serikat (AS) dari PT Freeport Indonesia untuk TNI-Polri. Menurut dia, anggota TNI memiliki pembiayaan tersendiri yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk dana operasi dan lauk pauk di Papua. Selebihnya, Agus mengaku tidak tahu.
"Dana itu nggak pernah lewat saya. Kalau dana itu dialirkan lewat kepolisian, saya juga tidak tahu," kata Agus seusai acara latihan bersama TNI-Polri dalam penanggulangan teror di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (27/11).
Agus menjelaskan, keberadaan anggota TNI di area PT Freeport yang ada di Papua untuk menjalankan fungsi memberikan bantuan atau back-up terhadap tugas pengamanan anggota Polri. "Nanti, tinggal polisi saja yang maunya seperti apa. Seandainya ada Polri di sana, dana-dana itu melalui kepolisian," ujarnya.
Di pihak lain, kelompok separatis pimpinan Purom alias Okinak Wonda mengaku sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam serangkaian aksi teror dan penembakan di Kota Mulia, ibu kota Kabupaten Puncak Jaya, selama sepekan terakhir.
Bupati Puncak Jaya Lukas Enembe di Mulia, kemarin, mengatakan, kelompok pimpinan Purom Wonda itu mengklaim sebagai pelaku lewat surat resmi yang ia terima.
"Mereka sudah bersurat lewat utusan yang saya kirim kemarin dan menyatakan secara resmi bertanggung jawab atas teror, penembakan, dan pembunuhan Kapolsek Mulia Kompol (anumerta) Dominggus Awes," katanya.
Demikian dikemukakan Presiden SBY saat membuka sidang kabinet paripurna di Ruang Rapat Utama Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Kamis (27/10). Terkait hal ini, sejumlah pengamat mengingatkan pemerintah, masalah Papua memerlukan penyelesaian amat serius dan pendekatan komprehensif agar tidak terjadi konflik yang berkepanjangan.
Hal itu disampaikan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon, dan Kadiv SDM dan Peneliti DPP Organisasi Advokat Indonesia (OAI) Adi Partogi Singal Simbolon di Jakarta kemarin.
SBY mengatakan, sejak tujuh tahun lalu, pemerintah sudah mengubah kebijakan pendekatan keamanan di Papua menjadi pendekatan pembangunan yang mendorong pemerataan kesejahteraan.
Oleh karena itu, menurut dia, penegakan hukum yang dilakukan aparat keamanan dalam sejumlah peristiwa terakhir hendaknya tidak dilihat sebagai upaya mengabaikan hak asasi manusia.
"Berkaitan dengan itu, semua realitasnya masih ada gerakan politik dan gangguan keamanan, termasuk gangguan kedaulatan. Oleh karena itu, kita harus jernih, termasuk dunia juga harus jernih melihat masalah ini. Kebijakan kita tepat. Kebijakan kita tidak lagi melakukan operasi militer secara masif. Satuan TNI di sana menjaga keamanan dan unit kepolisian menegakkan hukum," katanya.
Pernyataan Presiden itu disampaikan menyusul adanya infomasi dari pemberitaan di jaringan televisi internasional tentang permintaan Amnesti Internasional kepada Pemerintah Indonesia untuk membebaskan semua tahanan yang terkait peristiwa gangguan keamanan belum lama ini.
"Jika kesalahan dan pelanggaran dilakukan pihak lain, maka perlu penegakan hukum, jelaskan duduk persoalannya ini. Pesan saya kepada Panglima TNI dan Kapolri, cegah tindakan petugas di lapangan yang melebihi batas kepatutannya," katanya.
SBY mengatakan, apabila ada oknum TNI atau oknum polisi yang melakukan tindakan melebihi batas kepatutan dan juga pelanggaran hukum, maka harus diberi sanksi hukum yang sesuai. Namun sebaliknya, jika ada kelompok lain yang melanggar hukum, termasuk upaya mengganggu kedaulatan, tentu juga harus menghadapi proses hukum.
Pada kesempatan itu, SBY menugasi Menko Polhukam Djoko Suyanto agar dapat menjelaskan kepada Amnesti Internasional apa yang telah dilakukan Indonesia, termasuk sejumlah langkah nonkeamanan untuk menyelesaikan masalah di Papua dan juga proses penegakan hukum yang dilakukan. SBY juga menegaskan, Indonesia adalah negara demokrasi dan negara yang menjunjung tinggi aturan hukum.
Sidang kabinet paripurna yang berlangsung mulai pukul 14.00 WIB itu dihadiri juga oleh Wakil Presiden Boediono. Seluruh jajaran menteri dan wakil menteri hadir. Juga tampak Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, Kapolri Jenderal Timur Pradopo, Kepala BIN Letjen Marciano Noorman, dan Jaksa Agung Basrief Arief.
Sementara itu, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono membantah tuduhan soal dana 14 juta dolar Amerika Serikat (AS) dari PT Freeport Indonesia untuk TNI-Polri. Menurut dia, anggota TNI memiliki pembiayaan tersendiri yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk dana operasi dan lauk pauk di Papua. Selebihnya, Agus mengaku tidak tahu.
"Dana itu nggak pernah lewat saya. Kalau dana itu dialirkan lewat kepolisian, saya juga tidak tahu," kata Agus seusai acara latihan bersama TNI-Polri dalam penanggulangan teror di Hotel Sultan, Jakarta, Kamis (27/11).
Agus menjelaskan, keberadaan anggota TNI di area PT Freeport yang ada di Papua untuk menjalankan fungsi memberikan bantuan atau back-up terhadap tugas pengamanan anggota Polri. "Nanti, tinggal polisi saja yang maunya seperti apa. Seandainya ada Polri di sana, dana-dana itu melalui kepolisian," ujarnya.
Di pihak lain, kelompok separatis pimpinan Purom alias Okinak Wonda mengaku sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam serangkaian aksi teror dan penembakan di Kota Mulia, ibu kota Kabupaten Puncak Jaya, selama sepekan terakhir.
Bupati Puncak Jaya Lukas Enembe di Mulia, kemarin, mengatakan, kelompok pimpinan Purom Wonda itu mengklaim sebagai pelaku lewat surat resmi yang ia terima.
"Mereka sudah bersurat lewat utusan yang saya kirim kemarin dan menyatakan secara resmi bertanggung jawab atas teror, penembakan, dan pembunuhan Kapolsek Mulia Kompol (anumerta) Dominggus Awes," katanya.
Sumber : Suara Karya
0 komentar:
Post a Comment