Clock By Blog Tips

Tuesday, August 9, 2011

Ouch, Laksamana Soleman Menjewer ‘Juru Bayar’ Densus 88


Dia tampil di sebuah seminar Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia di Jakarta dan di situ dia berbicara tentang sesuatu yang bisa menggiring Datasemen Khusus 88 ‘pisah ranjang’ dengan dua ‘juru bayarnya’ sekaligus: Pemerintah Amerika Serikat dan Australia.

Ada sebuah berita penting di situs Kantor Berita Antara empat hari lalu yang, entah bagaimana persisnya, seperti kena tekel berat hingga gagal muncul di halaman pertama koran-koran besar Jakarta keesokan harinya. Subjeknya bukan sembarang orang. Laksamana Muda Soleman B. Ponto adalah Kepala Badan Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia.

Dia baru tujuh bulan lebih menjabat, sebenarnya. Tapi dalam tujuh bulan itu, seperti bisa ditebak, tak ada kalimat berarti yang pernah terlontar dari mulutnya untuk bisa disantap awak media.

Rabu lalu nampaknya sebuah kekecualian.

Dia tampil di sebuah seminar Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia di Jakarta dan di situ dia berbicara tentang sesuatu yang bisa menggiring Datasemen Khusus 88 ‘pisah ranjang’ dengan dua ‘juru bayarnya’ sekaligus: Pemerintah Amerika Serikat dan Australia.

Laksamana Soleman memang tak menyebut nama Densus 88. Tapi dia mengarahkan pisau kritiknya pada pasukan polisi yang kerap membunuh orang-orang yang mereka tuduh sebagai teroris.

“Kalau teroris boleh terbunuh,” kata Laksamana Soleman, “ya gunakan TNI. Tapi kalau harus ditangkap lalu dihukum, ada alatnya, yaitu polisi. Kalau mau bunuh teroris, polisi jadi tentara saja.”

Pandangan Laksamana Soleman ini adalah upper cut paling keras dari pejabat intelijen militer yang pernah mendarat di dagu Densus 88. Kritik ini sekaligus berpotensi membilas kapur barus ‘pembenaran’ yang kerap dijajakan para perwira senior polisi ke publik luas setiap kali Densus 88 menembak mati targetnya; diam-diam ataupun saat terekam live di stasiun teve nasional dan ditonton jutaan pemerisa, termasuk kanak-kanak.

Pasal 6 Undang-Undang Terorisme bilang pelaku teror harus dipidana, artinya harus dihukum dan ditangkap, kata Soleman menyebut basis argumennya.

Praktis hanya sampai di situ berita tentang Laksamana Soleman. Tapi esok harinya di Jakarta, pada Kamis, pers Jakarta mengutip ucapan juru bicara polisi, Inspektur Jenderal Anton Bachrul Alam, yang nampaknya mencoba mengurangi kekentalan kritik. Anton pada intinya bilang polisi “berterima kasih” atas kritik yang datang dan menegaskan kalau “banyak juga (tersangka terorisme) yang tak ditembak mati”.

Saling serang di lingkaran pejabat senior keamanan negara tentu saja bukan hal yang biasa – apalagi jika kilatannya sampai muncul di media massa. Dan inilah sebenarnya soalnya: Kenapa Laksamana Soleman mengarahkan belati kritiknya pada laku brutal Densus 88 yang notabene sudah dianggap sebagai sebuah ‘kewajaran’ oleh masyarakat umum – berkat dukungan membuta media-media besar Jakarta – dalam satu dekade terakhir?

Orang bisa berspekulasi ini adalah sentilan balik kalangan intelijen pada Arsyad Mbai, bos besar Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, yang menentang lolosnya pasal ‘kewenangan baru’ Badan Intelijen Negara, termasuk menangkap, menahan dan memeriksa ‘musuh’ negara, dalam RUU Intelijen Negara – dengan alasan cukup polisi saja yang punya kewenangan menangkap, menahan dan memeriksa.

Mungkin. Tapi kritik Laksamana Soleman bisa juga berarti hal yang lain sama sekali; sebuah pesan untuk Amerika dan Australia yang, dalam satu dekade terakhir, memilih membisu pada extra judicial killing yang dipraktikkan pasukan super polisi Indonesia yang mereka modali hampir seluruh peralatan, kegiatan dan pendidikannya.

Dengan mengkritik laku Densus 88, Laksamana Soleman nampaknya ingin mengatakan kalau dia – perwira tertinggi intelijen militer – tak bakal membiarkan TNI terlena, terseret dan tenggelam dalam ‘proyek berkabut’ Perang Melawan Terorisme yang disponsori Amerika Serikat dan Australia. Dia juga nampaknya ingin menyindir Amerika yang tak pernah lepas mengkritik apa yang mereka sebut sebagai ‘pelanggaran Hak Asasi Manusia’ oleh tentara Indonesia namun memilih diam seribu bahasa saat ‘anak angkat’ mereka di Indonesia, yakni Densus 88, tersangkut sebuah laku kontroversial.

Apapun di balik semua ini, Laksamana Soleman telah menyatakan pandangannya yang bijak. Dan Amerika kini nampaknya tak punya pilihan lain kecuali menarik kartu yang sudah lama di meja dan memulai kocokan dengan kartu yang baru.
 
 
 
 



 

0 komentar:

Post a Comment