Kekhawatiran yang sejak awal muncul terkait dampak buruk dari agresi militer Koalisi Barat ke Libya semakin menemukan bentuknya yang nyata. Sabtu, sebuah jet tempur NATO menyerang iring-iringan pasukan revolusi anti Gaddafi yang menewaskan 17 orang dan melukai beberapa orang lainnya. Di antara korban adalah tiga mahasiswa kedokteran yang bergabung dengan pasukan revolusi sebagai tim medis. Insiden itu terjadi di dekat Brega, di timur Libya.
Salah seorang petinggi NATO menyebut insiden itu sebagai kesalahan yang akan diselidiki dan diusut oleh pihaknya. NATO sejak empat hari lalu telah secara resmi mengambil alih kepemimpinan operasi militer di Libya. Alasannya, NATO menilai resolusi terakhir DK PBB tentang Libya membuka peluang untuk menggelar operasi militer ke negara itu demi melindungi warga sipil dari gempuran militer loyalis Gaddafi.
Resolusi yang dimaksud tak lain adalah resolusi nomor 1973 tentang zona larangan terbang yang dimaksudkan untuk menghalangi serangan pesawat tempur rezim Gaddafi terhadap warga dan posisi kelompok revolusioner. Namun yang terjadi di lapangan adalah kesan perang total yang dilancarkan Koalisi Barat terhadap Libya. Tentunya, korban dari pihak sipil pun berjatuhan. Menurut sumber resmi, sudah lebih dari seratus warga sipil tewas dalam serangan militer Barat.
Berita tentang tewasnya belasan orang dari pasukan revolusi di Brega adalah yang terkini dan paling menggemparkan. Insiden ini sekaligus membuat banyak orang semakin meragukan kejujuran Barat dalam klaimnya membela revolusi dan rakyat Libya dari kejahatan rezim Gaddafi. Dua hari sebelumnya desa Zawia el Argobe, 15 Km dari kota Brega digempur pasukan NATO dengan korban delapan warga sipil tewas. Giovanni Innocenzo Martinelli, seorang pastor yang juga urusan khusus Vatikan ke Libya membenarkan bahwa serangan militer NATO ke Libya setidaknya menewaskan 40 warga sipil.
Berita tentang tewasnya belasan orang dari pasukan revolusi di Brega adalah yang terkini dan paling menggemparkan. Insiden ini sekaligus membuat banyak orang semakin meragukan kejujuran Barat dalam klaimnya membela revolusi dan rakyat Libya dari kejahatan rezim Gaddafi. Dua hari sebelumnya desa Zawia el Argobe, 15 Km dari kota Brega digempur pasukan NATO dengan korban delapan warga sipil tewas. Giovanni Innocenzo Martinelli, seorang pastor yang juga urusan khusus Vatikan ke Libya membenarkan bahwa serangan militer NATO ke Libya setidaknya menewaskan 40 warga sipil.
Nampaknya rakyat Libya menjadi korban dari dua arah, rezim Gaddafi dan konspirasi Barat. Gaddafi dan para pendukungnya di korps militer menyulut perang terhadap rakyat dengan alasan untuk meredam gejolak dan mengembalikan stabilitas di negara itu. Sementara dari sisi lain, pasukan koalisi Barat menggelar agresi militer dengan alasan untuk menghentikan kekerasan rezim Gaddafi.
Namun hasilnya adalah pembantaian rakyat sipil.Tak hanya nyawa, perang ini juga telah menghancurkan banyak rumah, sarana umum, infrastruktur dan perekonomian. Gaddafi mempersenjatai diri dengan senjata-senjata yang dibeli dari Barat menggunakan uang negara. Kini senjata-senjata yang dibeli dengan harga mahal itu dihancurkan oleh mesin-mesin perang Barat.
Gerakan revolusi rakyat Libya saat ini telah menjadi ajang perebutan kepentingan antara rezim Gaddafi dan Barat dan lagi-lagi korbannya adalah rakyat. Kini, rakyat tak lagi merasakan keamanan sementara kebebasan juga tak kunjung didapat.
Namun hasilnya adalah pembantaian rakyat sipil.Tak hanya nyawa, perang ini juga telah menghancurkan banyak rumah, sarana umum, infrastruktur dan perekonomian. Gaddafi mempersenjatai diri dengan senjata-senjata yang dibeli dari Barat menggunakan uang negara. Kini senjata-senjata yang dibeli dengan harga mahal itu dihancurkan oleh mesin-mesin perang Barat.
Gerakan revolusi rakyat Libya saat ini telah menjadi ajang perebutan kepentingan antara rezim Gaddafi dan Barat dan lagi-lagi korbannya adalah rakyat. Kini, rakyat tak lagi merasakan keamanan sementara kebebasan juga tak kunjung didapat.
Irib Radio Iran
0 komentar:
Post a Comment