Setelah puas menginvasi Irak (dengan dalih senjata pemusnah massal), menduduki Afganistan (atas nama pembersihan Al-Qaeda), dan membiarkan sekutu dekatnya, Israel, terus membunuhi bangsa Palestina di Jalur Gaza, kini AS dan sekutunya kembali membombardir Libya.
Sedari awal, AS (dan sekutu Baratnya) menyadari, damainya Timur Tengah dan bersatunya negara-negara Arab merupakan ancaman nyata. Menurut Mark Quarterman (2007), kebijakan ini dilatari oleh ketergantungan akut Barat terhadap suplai minyak Timur Tengah.
Apa yang kini dilakukan AS di Libya sesungguhnya dapat dieja dari perspektif “politics for oil” ini. Sudah menjadi rahasia umum, AS akan menempuh segala cara untuk menancapkan pengaruhnya di Timur Tengah, terutama menyangkut minyak.
Setiap perubahan kebijakan luar negeri dan intervensi militer yang dilakukan AS serta operasi rahasia CIA di Timur Tengah hanya punya satu tujuan: menguasai jalur produksi dan distribusi minyak. Dengan menguasai Libya yang memiliki cadangan minyak terbesar di Afrika (Wall Street Journal, 28/08/09), AS (dan sekutunya) dapat memastikan pengaruh politiknya, menjaga pasokan minyak bagi mesin industrinya, dan mengendalikan ekonomi dunia.
Atas dasar ‘politik minyak’, AS rela bersekutu dengan rezim-rezim antidemokrasi di Jazirah Arab. AS juga tidak akan segan-segan melakukan intervensi, seperti merancang rekayasa politik guna menggulingkan pemerintahan yang sah atau menggunakan legalitas PBB untuk mengintervensi rezim-rezim yang dianggap ‘membandel’. Libya di bawah Khadafi, dan Iran di bawah Ahmadinejad, kerap merasakan intervensi ini.
Pada aras lain, pengaruh kaum neokonservatif juga menjadi faktor penting menguatnya hegemoni AS di Timur Tengah. Justin Raimondo (Reclaiming the American Right: The Lost Legacy of the Conservative Movement, 2008) menyebut, kaum neokonservatif adalah para mantan kaum kiri AS yang karena alasan pragmatisme politik bergeser menjadi sangat kanan. Kelompok neokonservatif ini eksis sejak 1992, dan kiprah mereka terekam dalam lembaga think tank bernama “The Project for the New American Century (PNAC)”.
Secara garis besar, PNAC bertujuan membentuk kekaisaran Amerika (Pax Americana) atas dasar internasionalisme Amerika. Guna mewujudkan mimpi “Pax Americana”-nya itu, AS wajib memperkuat sektor militernya melalui doktrin “the best defence is a good offense”.
Jagad kuasa “Hobbesian”
Mengapa AS (dan sekutu Baratnya) gemar menebar teror dan memberi stempel negara yang tak disukainya sebagai ‘anti-demokrasi’, ‘kiri’, ‘sponsor teroris’, atau ‘poros kejahatan’?
Mengutip Robert Kagan dalam Paradise of Power (2003), sejak berakhirnya Perang Dunia II, AS punya kalkulasi sendiri dalam menentukan prioritas nasional, melihat ancaman, serta mendefinisikan kebijakan pertahanan dan politik luar negerinya. Dalam bahasa Kagan, AS hidup dalam jagad kuasa “Hobbesian”.
Paradigma ini merujuk pada pandangan Thomas Hobbes, filsuf Inggris Abad ke-17, yang melihat keadaan alamiah manusia (state of nature) sebagai anarki, yang kotor, brutal, dan singkat. Situasi seperti ini tentu membutuhkan hadirnya ‘Leviathan’, sebuah kekuasaan dengan kedaulatan mutlak dan punya kekuatan memaksa untuk menghindari anarki dan memastikan kehidupan manusia tak lagi berada dalam siklus “axis of evil”.
Perilaku politik AS ini juga dapat didudukkan dalam tesis “the clash of civilization”-nya Samuel Huntington (1996). Menurut Huntington, setiap benturan selalu berada dalam kerangka perang peradaban; dimana peradaban Islam (dan Konfusian) diposisikan sebagai ‘musuh’ baru Barat (pasca runtuhnya komunisme). Paradigma ini dengan angkuh membagi dunia ke dalam tiga zona peradaban (Islam-Konfusian-Barat) yang secara ideologis saling berhadapan secara diametral: ‘poros iblis’ di satu sisi, dan ‘poros malaikat’ di sisi lain.
Serangan udara AS (dan sekutunya) atas Libya, bisa dieja dari perspektif “Huntingtonian complex” ini. Perilaku ‘politik Khadafi’ adalah anomali dalam adab demokrasi Barat, dan karenanya mesti diperangi. Pascatragedi 11/9, Irak dan Afganistan (juga Palestina) adalah korban nyata dari tesis benturan peradaban yang melihat wajah dunia secara simplistis.
Jika AS konsisten pada jatidirinya (seperti dinyatakan Abraham Lincoln, bahwa “deklarasi kemerdekaan Amerika bukan hanya memberi kebebasan pada rakyat negeri ini, tetapi juga harapan bagi kebebasan dunia di masa depan”), maka AS tak mesti menghukum Khadafi dengan gaya ‘cowboy’: membombardir dan mencederai kedaulatan Libya.
Sebagai hyperpower, yang kerap mengklaim diri sebagai pengawal ‘demokrasi universal’ dan penjaga ‘moral dunia’, AS mengingkari komitmennya sendiri sebagai ahli waris pencerahan, yang memuja kemanusiaan, kebebasan, otonomi individu, dan demokrasi liberal?
AS tidak memiliki alasan moral untuk melakukan serangan udara atas negeri berdaulat seperti Libya. Dalam konteks ini, AS telah melanggar pesan Thomas Jefferson agar senantiasa mengedepankan “rasa hormat yang layak terhadap bangsa lain”.
Ketika AS dikendalikan oleh para penganjur “Hobbesian”, yang kerap bertindak bak ‘Leviathan’ (baca: polisi dunia), maka bisa dipastikan, kebijakan politik luar negeri AS akan cenderung abai pada pertimbangan moral. Sebab, sulit bagi Barat—yang melihat Timur Tengah tak lebih dari sekumpulan negeri yang diperintah rezim anarki—untuk berdiam diri, apalagi membiarkan bangsa Arab hidup berdampingan secara damai.
Paradigma berpikir elite AS yang gemar mempertontonkan kekuatannya secara sewenang-wenang, jelas bertabrakan dengan logika “perceptual peace” sebagai metode untuk mencapai tata pergaulan internasional yang damai, adil, dan beradab; dan spirit “foedus pacifucum” yang memuliakan otonomi moral, humanisme, kebebasan, dan hak hidup sebuah bangsa.
Pembantaian militer AS di Irak, Afganistan, dan kini penyerbuan militer atas Libya, jelas berakar pada tesis politik “Hobbesian” yang menginginkan hadirnya sebuah ‘Leviathan’. Ini menunjukkan, bahwa AS (dan sekutu Baratnya) berhak menentukan sebuah ‘kejelasan moral’ (moral clarity) bagi setiap negara.
Yang pasti, kebijakan ‘standar ganda’ AS adalah pembentuk utama peta politik Timur Tengah dewasa ini. Selama AS berkepentingan besar atas minyak Timur Tengah, maka bisa dipastikan AS tidak akan pernah membiarkan kedamaian dan koeksistensi tumbuh bersemi di pentas politik Timur Tengah.
Launa, SIP MM adalah dosen FISIP Universitas Satya Negara Indonesia; Redaktur Jurnal Sosial Demokrasi
sumber: harianpelita
0 komentar:
Post a Comment