Clock By Blog Tips

Tuesday, March 1, 2011

PBB Embargo Militer Libia Berdasarkan resolusi DK PBB



TRIPOLI – Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) akhirnya memutuskan secara bulat menjatuhkan berbagai sanksi pada pemimpin Libia, Moamar Khadafi , dan orang-orang dekatnya atas kekejaman yang mereka lakukan pada massa pengunjuk rasa. Sementara itu, Libia kini terpecah menjadi dua setelah kubu oposisi membentuk pemerintahan tandingan di Kota Benghazi, Libia bagian timur. Para pemimpin dunia, termasuk Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama, juga mulai mendesak Khadafi segera mundur dari kekuasaan. Keputusan sanksi pada Khadafi dan orang-orang terdekatnya ditetapkan 15 anggota DK PBB dalam sidang di markas besar PBB, New York, AS, Sabtu (26/2) malam.

Sanksi-sanksi tersebut, antara lain larangan bepergian ke luar negeri (travel ban), pembekuan aset-aset, serta embargo senjata. Dalam resolusi itu, DK PBB menyerukan agar Khadafi diseret ke Pengadilan Kriminal Internasional atas aksinya terhadap para pengunjuk rasa yang menurut PBB telah menewaskan lebih dari 1.000 orang. Sanksi tehadap 15 orang dekat Khadafi , antara lain empat putranya, satu putrinya yang bernama Aisha, dan beberapa pejabat keamanan dan inteligen Libia yang dituduh terlibat dalam aksi berdarah. Berdasarkan resolusi DK PBB itu, seluruh negara di dunia juga harus menghentikan penjualan senjata ke Libia.

Resolusi juga memerintahkan Khadafi mengizinkan pekerjapekerja kemanusiaan ke Libia dan melindungi orang-orang asing. Meskipun demikian, pembicaraan mengenai kemungkinan aksi militer internasional untuk melawan Khadafi masih belum menemukan titik terang. Seruan agar Kadhafi segera mundur dari jabatannya juga mulai disuarakan berbagai pemimpin dunia. Di Washington, Presiden AS Barack Obama telah menegaskan agar Khadafi harus mundur saat ini juga. Pihak Gedung Putih menyatakan, Minggu (27/2), penegasan itu diucapkan Obama dalam perbincangan teleponnya dengan Kanselir Jerman Angela Merkel pada Sabtu (26/2).

“Presiden menyatakan bahwa ketika satu-satunya cara yang dapat digunakan oleh seorang pemimpin untuk tetap berkuasa hanyalah tindak kekerasan massal melawan rakyatnya sendiri, maka sang pemimpin sebenarnya telah kehilangan legitimasinya sehingga harus mundur saat ini juga,” demikian Gedung Putih menyatakan dalam pernyataan tertulisnya. Seruan mundur juga disuarakan oleh Menteri Luar Negeri Inggris William Hague, dan Menteri Luar Negeri Italia Franco Frattini yang menyatakan akhir dari kepemimpinan Khadafi telah tercapai. Frattini menegaskan Italia telah membekukan persahabatan dan kerja samanya dengan Libia.

Pemerintahan Sementara Pemerintahan di Libia terpecah menjadi dua setelah kubu anti Khadafi menyatakan telah membentuk pemerintahan sementara Libia di Kota Benghazi, kota terbesar kedua negara itu, yang telah mereka kuasai. Pemerintahan sementara ini dipimpin oleh Mustafa Mohamed Abud Ajleil, Menteri Kehakiman dalam kabinet Khadafi yang telah membelot sebagai bentuk protesnya atas kekejaman Khadafi pada pengunjuk rasa. Duta Besar Libia untuk AS Ali Aujali mendukung berdirinya pemerintahan interim di bawah kepemimpinan Abud Ajleil itu. Dukungan serupa juga diberikan oleh Wakil Duta Besar Libia untuk PBB Ibrahim Dabbashi.

“Kami akan mendukung pemerintahan sementara sampai tercapainya pemerdekaan seluruh Libia,” kata Aujali. Meskipun mendirikan pemerintahan tandingan, Ajleil menegaskan bahwa wilayah Libia tetaplah satu dengan ibu kota di Tripoli. Sementara itu, Khadafi tetap mencoba meredam pemberontakan terhadap dirinya dengan mendesak agar rakyat menerima tawaran bingkisan uang sekitar 3,5 juta rupiah dan kompensasi lainnya yang telah ia putuskan sejak Jumat (25/2). Arus eksodus warga asing terus berlangsung.

Inggris, Kanada, dan Amerika Serikat telah menutup kantor kedutaan mereka di Tripoli dan memulangkan seluruh stafnya. Komisi Tinggi PBB untuk Masalah Pengungsi, UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees), menyatakan sekitar 100.000 orang telah meninggalkan Libia. Sementara itu, evakuasi pertama WNI berjumlah 253 WNI diterbangkan ke Tunisia dengan Tunis Air, hari Minggu (27/2). Rombongan pertama itu terdiri dari 201 pegawai PT Wijaya Karya (Wika) dan sisanya mahasiswa, tenaga kerja wanita, dan tenaga profesional. Jumlah WNI di Libia seluruhnya 875 orang.

Selain di Libia, pergolakan menuntut demokratisasi merambat ke Oman. Sekitar 1.000 orang berunjuk rasa menuntut reformasi politik, Minggu (27/2). Dua pengunjuk rasa tewas terkena peluru karet polisi. Pemimpin Oman Sultan Qaboos bin Said pada Sabtu (26/2) telah merombak kabinet sebagai cara untuk meredam potensi aksi massa lebih besar.





Koran Jakarta

0 komentar:

Post a Comment