Clock By Blog Tips

Thursday, March 24, 2011

Muammar Khadafi Seorang Kolonel Tanpa Urat Takut


Muammar Abu Minyar al-Qaddafi (lahir di Surt, Tripolitania, 7 Juni 1942; umur 68 tahun 9 bulan).

Khadafi adalah anak termuda dari sebuah keluarga miskin Badawi (Bedouin) yang nomadik di daerah gurun pasir di Sirte. Ibunya adalah seorang Yahudi yang mulai memeluk agama Islam sejak usia 9 tahun. Hal ini secara teknis membuat Khadafi seorang Yahudi menurut Judaisme. Dia diberikan pendidikan SD tradisional yang religius dan bersekolah di SMU Sebha di Fezzan dari 1956 hingga 1961.

Khadafi dan sekelompok kecil teman-temannya yang dia temui di sekolah ini kemudian membentuk kepemimpinan utama dari sebuah kelompok revolusiner militan yang kelak merebut kekuasaan negara Libya. Inspirasi bagi Khadafi adalah Gamal Abdul Nasser, seorang negarawan yang populer di Mesir, yang naik ke tahta kepresidenan dengan meminta persatuan Arab dan menghujat Barat. Pada 1961, Khadafi dikeluarkan dari Sebha karena aktivitas politiknya.

Moammar Khadafi adalah pemimpin Libya sejak 1969. Jabatan yang disandangnya bukan merupakan jabatan resmi, tetapi ia menyandang “Guide of the First of September Great Revolution of the Socialist People’s Libyan Arab Jamahiriya” atau “Brotherly Leader and Guide of the Revolution”. 


Moammar Khadafi kemudian kuliah di Universitas Libya, di mana dia lulus dengan nilai yang sangat baik. Dia lalu bergabung dengan Akademi Militer di Benghazi pada 1963, di mana dia dan beberapa rekan militannya membentuk sebuah kelompok rahasia yang bertujuan menjatuhkan monarki Libya yang pro-Barat. Setelah lulus pada 1965, dia dikirim ke Britania untuk latihan lanjutan, dan kembali pada 1966 sebagai seorang opsir dalam Korps Sinyal.

Moammar Khadafi mempunyai delapan anak, tujuh di antaranya lelaki. Putranya yang paling tua, Muhammad Khadafi adalah ketua Komite Olimpiade Libya. Putra tertua kedua Al-Saadi Khadafi, adalah ketua Federasi Sepak Bola Libya, bermain di tim Seri A, Perugia, dan juga bermain film.

Satu-satunya putrinya, Ayesha Khadafi, adalah seorang pengacara yang telah bergabung dengan tim pengacara Saddam Hussein, Moammar Khadafi juga mempunyai saham sebesar 7,5% di klub sepak bola Italia, Juventus.

Ayesha Khadafi, satu-satunya putri khadafi adalah seorang pengacara yang telah bergabung dengan tim pengacara Saddam Hussein
 

Pemandu Revolusi Tanpa Urat Takut. Dia pernah dibenci barat, tapi lalu lunak, anti imperialisme dan suka tidur di tenda

Muammar Khadafi adalah seorang kolonel tanpa urat takut.  Pada 1969, di usia muda, dengan nyali yang menyala, dia menjungkalkan tahta raja Libya, satu kudeta yang berhasil, dan membalikkan gerak sejarah negeri Libya.


Dia tampil sebagai revolusioner nekad, meski kerap juga ngawur. Kini, setelah 41 tahun berkuasa, Khadafi tak juga gentar. Dia tahu, hari-hari ini di sekujur tanah Arab para tiran terancam terguling oleh pergolakan rakyat.

Tapi, Khadafi yang lama menjadi antagonis, –dia rajin berkelahi dengan tetangganya sesama bangsa Arab, seperti hendak menegaskan kembali wataknya yang keras kepala.

Di tenda badui-nya, dia pernah menyambut gencarnya bom Amerika Serikat pada 1986,  dengan tenang. Barangkali, itu sebabnya, ketika demonstrasi kian hebat menuntut dia mundur, Khadafi melihat gerak protes tak bersenjata itu seperti sebuah ancaman militer. Warga sipil Libya, yang menuntut perubahan itu, dihajarnya dengan jet tempur.




Kini, tanpa rasa bersalah, pemimpin bernama lengkap Muammar Muhammad al-Khadafi itu nekad menembaki rakyat sendiri sejak 15 Februari lalu. Para musuh, dan mantan pejabat yang kian geram dengan Khadafi, berusaha menggulingkannya. Pilihan ekstrim dijatuhkan: membunuh Khadafi, atau membuat dia bunuh diri.

Konflik di Libya, kata banyak pengamat, tak akan terjadi bila tak ada pergolakan di Tunisia dan Mesir. Dua tetangga mengapit Libya itu berhasil menjungkalkan rezim yang kelewat lama berkuasa di negeri mereka. Revolusi adalah gagasan yang menular, dan momen itu dimanfaatkan oposisi di Libya melawan rezim Khadafi.

“Kemarin Ben Ali [Tunisia], hari ini Mubarak [Mesir]. Selanjutnya harus Khadafi,” ujar seorang pemrotes di Kota Benghazi, tak lama setelah mendengar pengumuman Presiden Mesir, Hosni Mubarak, berhasil dipaksa mundur pada 11 Februari lalu.

Tapi Khadafi adalah kolonel yang hanya mendengar dirinya sendiri. “Mereka main keras, saya juga main keras. Saya akan bertahan hingga tetes darah terakhir” ujar Khadafi seperti dikutip kantor berita Associated Press.

Dia lalu menuding siapa saja yang menyebar kebencian atas dirinya, mulai dari negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat hingga jaringan teroris al-Qaeda. Pekan lalu, dia seperti meracau, mengatakan semua rakyat Libya mencintai dia. Washington pun menilai Khadafi “melantur”. Tak ada kata lain bagi Khadafi, kata Gedung Putih, selain dari turun dari kekuasaan.

Korban jiwa pun berjatuhan di Libya. Menurut Duta Besar Libya untuk PBB, Ali Suleiman Aujali, lebih dari 2.000 orang tewas dalam dua pekan terakhir. Warga yang melawan itu tumbang diberondong peluru tajam oleh milisi pro-Khadafi, yang kebanyakan adalah tentara bayaran dari Chad.

Khadafi akrab dengan kekerasan. Begitu meraih kekuasaan, dia bertahan selama 40 tahun lebih, dengan cara brutal. Tak heran, bila dia kini memakai segala cara, mulai dari menyewa milisi bayaran, hingga memberikan sogokan akan menaikkan gaji pegawai negeri sebesar 150 persen, dan memberi santunan tunai bagi keluarga yang loyal.

Dia juga berpengalaman menghadapi kudeta dalam negeri. Khadafi pun seolah tak takut dengan tekanan, terutama dari negara Barat, yang mengancamnya dengan operasi militer. Saat rumahnya dihajar bom oleh jet tempur Amerika pada 1986 itu, banyak pengikutnya, termasuk anak angkatnya tewas. Tapi Khadafi lolos dari maut.  Dia tetap melawan.

Seorang diplomat Libya, bekas penerjemah Khadafi yang kini mengajar di AS, Abubakar Saad, juga menyarankan cara keras, bila dia tetap tak bisa diajak kompromi. “Bila ada pemimpin tak mau berkompromi, atau bahkan tak mau duduk, dan berdialog, satu-satunya alternatif adalah menyingkirkan dia, membunuhnya mengakhiri situasi ini,” kata Saad seperti dikutip Voice of America.

Di Gurun Pasir

Khadafi besar dalam angin padang pasir yang keras. Dia lahir di suatu tenda Badui, di gurun pasir dekat Kota Sirt, pada 1942. Dia berasal dari suku kecil turunan Berber Arab, yaitu Khadafa.

Dia tumbuh saat dunia Arab sedang bergolak, konflik yang berlarut di Palestina, setelah Israel membentuk negara pada 1948, dan munculnya tokoh nasionalis Arab, Gammal Abdul Nasser, sebagai pemimpin Mesir pada 1952.

Bersekolah di madrasah setempat, Khadafi kecil telah menaruh minat besar pada sejarah. Selesai menjalani pendidikan lanjut, Khadafi terjun ke dunia militer. Di Libya pada saat itu, menjadi tentara adalah peluang emas memperbaiki taraf hidup bagi keluarga kurang mampu.

Menjadi serdadu, berarti membuka peluang sekolah, dan mengangkat derajat sosial. Itu sebabnya, masuk militer adalah pilihan bagi  anak-anak muda seperti Khadafi. Apalagi, nasionalisme Arab, yang saat itu digelorakan oleh Nasser.

Khadafi lalu masuk ke akademi militer pada 1961, dan lulus lima tahun kemudian. Dianggap punya prospek cemerlang, Khadafi terpilih ikut pendidikan militer lanjutan selama beberapa bulan di Akademi Militer Inggris, Sandhurst. Dia pun menerima pelatihan militer di Athena, Yunani.

Sebagai perwira muda, Khadafi malu melihat pasukan negara-negara Arab, yaitu Mesir, Suriah, dan Yordania, kalah perang dengan Israel di tiga front pada 1967. Dia kian geram, karena Raja Idris I dari Libya, hanya berpangku tangan melihat sesama bangsa Arab dipermalukan Israel dalam Perang Enam Hari. Khadafi lalu bertekad menggulingkan Raja Idris.

Peluang itu, tiba pada 1 September 1969. Saat itu, Raja Idris sedang ke Yunani untuk berobat. Muncul kabar, karena sering sakit-sakitan, Raja Idris akan lengser.  Dia menyerahkan kekuasaan kepada keponakannya, yang menjadi putra mahkota, Sayyid Hasan ar-Rida al-Mahdi as-Sanusi, yang disingkat Hasan as-Sanusi.

Tanggal penyerahaan tahta dari Raja Idris kepada Pangeran Hassan berlangsung pada 2 September 1969. Khadafi melihat peluang itu. Sehari sebelum ritual penyerahan tahta, saat Idris masih di luar negeri, Khadafi mengumumkan di radio, Libya berada di tangan Dewan Revolusi yang akan menyelamatkan negara dari kekosongan kekuasaan.

Junta militer pimpinan Khadafi lalu menangkap kepala staf militer dan kepala keamanan, yang setia dengan Raja Idris. Sang Raja terhenyak. Dia tak bisa lagi pulang, hingga wafat di Mesir pada 1983.
Stasiun berita BBC menceritakan bagaimana Khadafi, yang masih berusia 27 tahun namun telah berpangkat kolonel, secara cemerlang melakukan kudeta tanpa menimbulkan korban jiwa. “Kudeta itu hanya memuntahkan beberapa peluru,” tulis BBC.

Nasib calon raja yang batal, Hasan as-Sanusi lebih buruk. Dia menjadi tahanan rumah, dan sempat dipenjara selama tiga tahun pada 1971. Hasan dan keluarga diusir dari rumah mereka pada 1984.
Hasan harus menggelandang di pantai, hingga diserang stroke. Khadafi mengizinkannya berobat ke London, Inggris. Hasan pun  meninggal di sana. Dia dikuburkan di sebelah makam Raja Idris, di Madinah, Arab Saudi.

Kitab Hijau 

Setelah menyingkirkan kekuatan lama, pada  awal berkuasa, rezim Khadafi melakukan perubahan besar atas negeri mereka. Kerajaan Libya dibubarkan. Dia lalu membentuk Republik Sosialis Arab, dengan nama resmi Republik Rakyat Sosialis Agung Jamahiriya Arab Libya.

Bendera nasional pun diganti, dari gabungan warna merah, hitam, dan hijau, dengan lambang bintang dan bulan sabit di tengah-tengah, menjadi warna hijau polos.

Khadafi pun tak menyatakan diri sebagai presiden atau raja.  Dia menabalkan dirinya seorang “brother leader”, dan sang pemandu revolusi. Dia sempat menjabat perdana menteri selama 1970-1972. Sebagai pemimpin belia, Khadafi menunjukkan kepada bangsa Arab, di negaranya suatu perubahan radikal sedang bergerak.

Sistem pemerintahan Libya dirombak. Menurut kajian Library of Congress pada 1987 berjudul “Government and Politics of Libya”, Libya dipimpin dua pilar utama, yang disebut dengan sektor.
Salah satu pilar, yaitu “Sektor Revolusioner,” terdiri dari Khadafi sebagai pemimpin Revolusi, Komite Revolusi, dan Dewan Komando Revolusi, yang beranggotakan 12 orang. Mereka inilah inti kekuasaan di Libya karena para komite dan dewan tidak dipilih, melainkan ditunjuk, serta tak ada masa bakti.
Pilar lain adalah “Sektor Jamahiriyah”, adalah Kongres Rakyat mewakili 1.500 wilayah, dan 32 anggota Kongres Rakyat Sha’biyat. Mereka dilihat sebagai lembaga legislatif. Para anggotanya dipilih setiap empat tahun.

Sejak 1972, rezim Khadafi melarang partai politik. Media massa nasional pun dibelenggu agar tidak “menyesatkan” rakyat dengan pemberitaan kritis kepada pemerintah. Seperti Mao Zedong di China pada 1960an, Khadafi pada 1975 menerbitkan buku panduan ideologi bagi pejabat dan rakyat Libya. Dia menyebutnya sebagai “Kitab Hijau” (Green Book).

Terbit dalam bahasa Arab, Kitab Hijau menjabarkan tiga paham dasar, yaitu “Demokrasi berdasarkan Kekuasaan Rakyat,” “Ekonomi Sosialisme” dan “Teori Internasional Ketiga.” Paham itu lalu menjadi panduan bagi sistem demokrasi ala Khadafi, sekaligus panduan politik luar negeri Libya yang mengundang kontroversi.

“Kitab Hijau” menolak demokrasi liberal ala Barat, dan mendorong sistem demokrasi langsung berdasarkan pembentukan komite-komite rakyat. Belakangan, sistem ini dikritik sebagai cara Khadafi mengamankan kepentingannya di balik jargon memberdayakan rakyat Libya.

Libya juga menjalankan politik luar negeri yang radikal. Khadafi ramah kepada semua kelompok anti Barat. Dia juga menjadi  sponsor gerakan anti imperialisme dan zionisme. Pada dekade 70an hingga 90an, Libya bahkan menjadi kawah pelatihan bagi kelompok radikal seperti Brigade Merah dari Jepang, “September Hitam” dari Palestina, MILF dari Filipina, dan IRA dari Irlandia Utara.

Khadafi dan Gamal Abdul Nasser

Khadafi adalah pengagum Nasser, dan berniat meneruskan Pan Arabisme yang dirintis presiden pertama Mesir itu. Maka, dua tahun setelah Nasser wafat pada 18 September 1970, Khadafi menggagas pendirian “Federasi Republik-republik Arab,” meliputi Libya, Mesir, dan Suriah. Tapi ide itu gagal. Dia mencoba lagi pada 1972, dengan menggandeng  Tunisia. Tapi ide itu juga gagal.

Khadafi pun kerap berkelahi dengan negara tetangga. Pada 1969, tak lama setelah dia berkuasa, Libya berperang dengan Chad. Menurut GĂ©rard Prunier, penulis buku Darfur: a 21st century genocide, alasannya saat itu tak masuk akal: gara-gara presiden Chad saat itu  seorang Kristen, dan berkulit hitam. Perang Libya-Chad berakhir pada 1994, melalui keputusan Mahkamah Pengadilan Internasional.

Selain itu, Libya pun sempat baku tembak dengan Mesir selama beberapa hari pada 1977. Soalnya, Khadafi kesal dengan manuver Presiden Mesir saat itu, Anwar Sadat, yang berdamai dengan Israel, setelah keduanya terlibat Perang pada Oktober 1973.

Khadafi dengan Anwar Sadat

Khadafi memang anti-Israel. Dia bahkan jengkel dengan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pimpinan Yasser Arrafat. Pada 1995, Khadafi mengusir 30.000 warga Palestina dari Libya, setelah setahun sebelumnya PLO menggelar kesepakatan damai dengan Israel.

Khadafi juga sempat berang dengan Mesir, karena melindungi dua perwira Libya pelaku rencana kudeta atas Khadafi pada 1975. Konflik Libya-Mesir yang berlangsung empat hari akhirnya berakhir, setelah ditengahi oleh Aljazair.

Dengan politik yang keras seperti itu Libya di bawah Khadafi akhirnya menjadi sorotan. Dia dibenci Barat karena mensponsori kelompok teroris. Dia dicap menjadi rezim berbahaya, karena diketahui mengembangkan senjata penghancur massal untuk menandingi musuhnya di Barat.

Maka, tak heran Presiden AS, Ronald Reagan, menjuluki dia sebagai “anjing gila”, dan memerintahkan militernya membombardir Tripoli dan Benghazi pada 14 April 1986. Serangan itu terjadi setelah agen-agen Libya diketahui mengebom suatu klab malam di Berlin, Jerman, pada 5 April 1986. Insiden itu membunuh tiga orang, dan melukai 229 lainnya – lebih dari 50 orang diantara mereka adalah tentara Amerika.

Dua tahun kemudian, terjadi tragedi pengeboman atas pesawat Pan American yang tengah terbang di langit Lockerbie, Skotlandia. Ratusan penumpang dan awak pesawat tewas.

Agen Libya dituduh terlibat dalam aksi keji itu. Setelah sempat menyangkal, rezim Khadafi belakangan menerima tanggungjawab tragedi di Lockerbie, dan bersedia membayar uang duka kepada keluarga semua korban.

Menjadi Jinak

Menurut catatan harian Telegraph, Tragedi Lockerbie tampaknya menjadi “petualangan terakhir” Khadafi dalam terorisme internasional. Pada dekade 1990-an, Libya mulai rujuk dengan Barat. Dia rupanya tak tahan hidup, terisolasi dan banyak musuh, baik dari Barat maupun Arab.

Puncaknya pada 2003, saat Khadafi mengumumkan telah melucuti semua senjata penghancur massal milik Libya. Sejak saat itu, hubungan Libya membaik, termasuk dengan AS. Bahkan semasa George W. Bush berkuasa, pada 2006 AS mengumumkan Libya tak lagi masuk dalam daftar negara berbahaya. Proyek dan invetasi asing pun mulai mengalir kembali ke Libya.


Hingga Februari 2011, sebenarnya tak ada lagi berita sensasional tentang Khadafi, dan rezimnya. Dia sepertinya tak mau cari gara-gara dengan dunia luar. Khadafi bahkan sesekali diundang ke Barat, dan berpidato di Sidang Majelis Umum PBB di New York pada 2009.

Dia juga menyambangi Perdana Menteri Silvio Berlusconi di Italia pada 2010.
Khadafi pun akrab dengan mantan perdana menteri Inggris, Tony Blair. Dia dikabarkan tak lagi tertarik pada nasionalisme Arab – setelah beberapa kali gagal mewujudkan persatuan Arab.
Kini, perhatiannya pada solidarisme sesama negara Afrika. Itu sebabnya, sejumlah pemimpin Afrika mengangkat Khadafi sebagai Ketua Uni Afrika periode 2009-2010.

Nyentrik dan Kejam 

Khadafi kini berusia 68 tahun, dan kian nyentrik. Dia, misalnya, tinggal di tenda setiap kali berkunjung ke luar negeri, dan senang dikelilingi banyak perempuan.  Khadafi lebih suka dikawal pasukan khusus perempuan.


Pada satu lawatan ke Italia beberapa tahun lalu, Khadafi menjamu ratusan perempuan setempat. Dia membujuk mereka menjadi mualaf. Laman spesialis pembocor rahasia diplomatik AS, WikiLeaks, juga mengungkapkan Khadafi punya perawat perempuan asal Ukraina, bertubuh seksi, dan berambut pirang.
Galyna Kolotnytska, Perawat Kesayangan Khadafi Asal Ukraina

Wartawati senior BBC, Katie Adie, selalu teringat sifat nyentrik Khadafi. Saat bertemu untuk wawancara di Tripoli pada 1984, Khadafi memberi Adie dua buah buku, dan satu ucapan. “Buku pertama adalah Kitab Hijau, dan kedua adalah Kitab Suci Al Quran. Setelah itu, dia berucap kepada saya, ‘Selamat Natal’,” kata Adie seperti ditulisnya di harian The Guardian.

Bagi aktivis di Libya, seperti Mohammed al-Abdalla, Khadafi adalah diktator yang brutal. “Era 70-an, saat menghadapi gerakan mahasiswa, Khadafi terang-terangan menggantung para mahasiswa, yang berdemonstrasi di alun-alun Tripoli dan Benghazi,” ujar al-Abdalla, sekrektaris jenderal Front Nasional untuk Keselamatan Libya, seperti dikutip stasiun berita Al Jazeera.

“Dia melakukan eksekusi, yang mungkin paling brutal pernah kami saksikan, atas 1.200 tahanan di penjara Abu Salim. Mereka sudah dipenjara, lalu dieksekusi dalam waktu kurang dari tiga jam,” kata al-Abdalla.

Kini, si kolonel tanpa urat takut, dan kadang ngawur itu, kembali tampil brutal. Sejak 15 Februari lalu, dia menghabisi rakyat yang kini menentangnya. Akankah dia mendengar teriakan rakyat Libya itu?
Satu bekas menterinya yang membelot,  Abdul Fattah Younis al Abidi, mengatakan Khadafi adalah pemimpin ‘keras kepala’.  Abidi mengenal Khadafi sejak 1964. Dia yakin, sang kolonel akan bertindak ekstrim. “Dia akan memilih bunuh diri, atau dibunuh,” kata Abidi.






Vivanews & mymoen.info

0 komentar:

Post a Comment