Clock By Blog Tips

Tuesday, March 6, 2012

Laut Cina Selatan: Medan Tempur Baru AS-Cina di Asia Tenggara


Menyusul ketegangan soal daerah perbatasan (border dispute) antara Cina dan Filipina di Laut Cina Selatan baru-baru ini, maka sudah selayaknya kita menaruh perhatian khusus pada negara-negara bersinggungan dengan Laut Cina Selatan. Maupun nilai strategis dari Laut Cina Selatan itu sendiri. 

Laut Cina selatan memang punya nilai strategis secara geopolitik. Betapa tidak. Posisi Laut Cina Selatan membentang dari Pulau Hainan hingga Malaysia dan Singapura. Belum lagi fakta bahwa Laut Cina Selatan dilalui sepertiga dari seluruh lalu lintas maritim dunia. 

Satu catatan lagi yang tak kalah penting, pasokan minyak yang diangkut melalui Selat Malaka dari Samudra Hindia menuju Asia Timur mencapai enam kali lipat jumlah kapal yang yang melewati Terusan Suez dan 17 kali lipat yang melewati terusan Panama. Bayangkan betapa straegisnya nilai geopolitik Laut Cina Selatan. 

Tak heran jika Laut Cina Selatan bakal jadi medan tempur terbuka antara Amerika dan Cina di masa depan. Dari segi kandungan kekayaan alam saja, Laut Cina Selatan memiliki potensi gas alam sekitar 7.500 kilometer kubik (266 triliun kaki kubik). 

Bukan itu saja. Dalam hal minyak mentah pun, Laut Cina Selatan jadi pusat perhatian banyak negara besar. Berdasarakan perhitungan kasar, terdapat kekayaan minyak mentah sebesar 7 miliar barel dan 900 triliun kaki kubik di bawah permukaan laut.

Karena itu, selain berpotensi jadi medan tempur antara AS dan Cina, juga menjadi pemicu konflik antara Cina dan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. 

Sebagai misal, Cina mengklaim sebagian besar kawasan ini (terbentang ratusan mil dari selatan sampai timur di Propinsi Hainan). Beijing mengklaim hak mereka atas kawasan itu bermula dari 2.000 tahun lalu dan kawasan Paracel dan Spratly merupakan bagian dari bangsa Cina. 

Vietnam juga terlibat dalam persengketaan dengan Cina terkait Laut Cina Selatan. Vietnam menyanggah klaim Cina dengan mengatakan Beijing tidak pernah mengklaim kedaulatan atas kepulauan itu sampai tahun 1940-an dan mengatakan dua kepulauah itu masuk dalam wilayah mereka. 

Klaim Laut Cina Selatan 
Selain itu Vietnam juga mengatakan mereka menguasasi Paracel dan Spratly sejak abad ke-17, dan memiliki dokumen sebagai bukti.

Jika konflik Cina dan Vietnam kian menajam terkait konflik perbatasan di Laut Cina Selatan ini, maka bisa jadi prediksi pakar politik AS Samuel Huntington bahwa Cina bakal menginvasi Vietnam bisa jadi kenyataan, atau setidaknya tren ke arah ini harus dicermati secara intensif. 

Selain itu, secara historis Cina pernah punya dendam sejarah karena Vietnam pernah menginvasi Kamboja pada 1979 dengan dalih untuk menggusur Rejim Pol Pot yang dianggap otoriter dan kejam. Menariknya, Vietnam dan Kamboja sama sama negara pemenang perang karena pada 1975 keduanya berhasil mengusir Amerika dari kedua negara tersebut menyusul kemenangan Komunis di Vietnam dan Kamboja. 

Hanya saja, Vietnam waktu itu lebih condong ke Uni Soviet sedangkan Kamboja didukung ole Cina. Alhasil, invasi Vietnam ke Kamboja menggulingkan rejim Pol Pot, benar benar membuat Cina merasa dipermalukan.

Konflik Cina dan Vietnam memang bisa semakin meruncing jika pada perkembangannya Cina mengungkit kembali penguasaan Paracel dari Vietnam sejak 1974. Dan pada 1988, kedua negara ini malah pernah bentrok secara militer di Spratly.  

Akankah Vietnam kali ini akan diinvasi oleh Cina dengan dalih adanya sengketa Vietnam dan Cina terkait Laut Cina Selatan? Kiranya skenario seperti ini di masa depan perlu dicermati secara intensif oleh para pemegang otoritas keamanan nasional di Indonesia. 

Apalagi ketika Filipina pun pada perkembangannya juga terlibat konflik daerah perbatasan dengan Cina terkait Laut Cina Selatan. Filipina mengklaim Laut Cina Selatan dengan dalih karena adanya kedekatan geografis ke kepulauan Spratly.

Bagaimana dengan Malaysia dan Brunei Darusalam? Ternyata dua negara ASEAN yang hingga kini masih tergabung dalam Persekutuan Negara-Negara Persemakmuran eks koloni Inggris(Common Wealth) ini juga terlibat klaim daerah perbatasan dengan Cina. 

Malaysia dan Brunei, sampai detik ini juga mengklaim sebagian kawasan di Laut Cina Selatan yang menurut kedua negara tersebut masuk dalam Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi PBB tentang Hukum Laut pada 1982. 

Bahkan Malaysia, mengklaim sejumlah kecil kawasan di Spratly sebagai wilayah milik mereka. 

Dari konstalasi konflik daerah perbatasan terkait Laut Cina Selatan seperti paparan di atas, masuk akal jika ke depan kawasan ini akan jadi medan tempur baru antara AS-Cina,  mengingat keterlibatan beberapa negara yang terlibat konflik dengan Cina, seperti Malaysia-Brunei-Filipina, merupakan tiga negara ASEAN yang secara tradisional hingga kini masih terikat persekutuan strategis dengan Amerika maupun Inggris. Seperti juga semasa Perang Dingin. 

Sehingga konflik terbuka antara salah satu dari tiga negara tersebut, praktis akan memicu konflik berskala luas antara AS dan Cina di kawasan ini. Meski dalam bentuk Proxy War atau Perang perpanjangan tangan, yang tidak memperhadapkan secara langsung antara AS dan Cina.

Kehadiran Militer AS di Asia Pasifik Semakin Menguat
Mengantisipasi ancaman Cina di kawasan Asia Pasifik dan Asia Tenggara, personel marinir AS telah ditempatkan di Darwin, Australia. Jelas hal ini untuk mengantisipasi semakin meruncingnya konflik perbatasan antara Cina dan beberapa negara ASEAN dalam kaitan Laut Cina Selatan. 

Opsi membangun pangkalan militer di Filipina seperti di Teluk Subic pada 1972, memang belum bisa diwujudkan mengingat basis militer AS tersebut telah ditutup pada 1992 karena atas desakan dari berbagai elemen masyarakat anti perang di Filipina pada waktu itu.

Namun ada opsi lain yang gejalanya sudah mulai nampak sejak Februari lalu. Seperti latihan militer gabungan 14 negara yang dimotori India di Pulau Andaman. Menariknya, dari 14 negara yang ikut latihan tersebut, beberapa di antaranya tergabung dalam negara negara Persemakmuran (Common Wealth) eks koloni Inggris, yang masih terikat persekutuan strategis dengan London seperti India, Australia, Malaysia, Brunei dan Singapura. Meski ikut serta juga Indonesia, Kamboja, Vietnam dan Thailand. 

Dari formasi peserta latihan militer gabungan 14 negara tersebut sudah bisa dibaca bahwa gagasannya adalah mengantisipasi ancaman Cina di kawasan Asia Pasifik. India, secara jelas berhasil diprovokasi oleh AS untuk secepatnya mengantisipasi ancaman militer Cina di kawasan Asia Pasifik. 

Hal ini tergambar melalui pernyataan pejabat teras intelijen AS itu sendiri. 

"Kami menilai, India semakin khawatir dengan penguatan postur militer dan sikap agresif Cina di Samudera India serta wilayah Asia Pasifik," ujar pejabat intelijen AS James Clapper, seperti dikutip PTI, Rabu (1/2/2012).

"Pasukan India yakin, konflik Cina dan India bukanlah suatu hal yang akan terjadi dalam waktu dekat ini. Namun pasukan India kerap meningkatkan kemampuannya untuk menghadapi konfrontasi militer dengan Cina,"  

Namun poinnya di sini jelas sudah. Bahwa AS berhasil menggiring India untuk menggalang satu kekuatan militer bersama untuk menghadang Cina setiap saat. Mengingat fakta bahwa yang dilibatkan dalam latihan militer gabungan 14 negara tersebut sebagian besar berasal dari Asia Tenggara (ASEAN) plus Australia, dan sebagian besar bertumpu pada negara negara ASEAN sekutu AS-Inggris, maka agenda tersembunyi AS dan Inggris di balik latihan militer bersama tersebut adalah mengondisikan persekutuan militer bersama menghadang Cina di kawasan Asia Tenggara. Khususnya di sekitar Laut Cina Selatan. 

Agenda tersembunyi AS dan sekutu-sekutunya di NATO dalam menggalang persekutuan militer di Asia Tenggara kiranya bukan khayalan dan spekulasi belaka. 

Kekhawatiran AS ihwal manuver Cina menguasai Laut Cina Selatan, setidaknya telah disuarakan oleh Robert D Kaplan, selaku pengamat dari Center for a New American Security. Kaplan yang juga anggota Dewan Kebijakan Departemen Pertahanan Amerika Serikat, menilai bahwa Cina bermaksud menguasai Laut Cina Selatan sebagaimana AS menguasai Karibia. 

Berarti tersirat melalui kajian Kaplan, dia bermaksud merekomendasikan pemerintahan Obama agar memprioritaskan pengembangan kekuatan militer AS di kawasan Asia Pasifik. Mengingat latarbelakangnya sebagai anggota Dewan Kebijakan Departemen Pertahanan, berarti kajian Kaplan tak pelak lagi merupakan pesanan dari Pentagon yang agenda strategisnya adalah untuk memiliterisasikan politik luar negeri AS seperti di era kepresidenan George W Bush dulu. 

Upaya AS untuk menguasai Laut Cina Selatan menghadang Cina, terungkap melalui poin lain dari rekomendasi Kaplan. Menurut Kaplan, AS seharusnya mengincar perimbangan kekuasaan di Laut Cina Selatan, meski bukan sebagai pendominasi. Namun dari fakta ini, hakikinya AS punya agenda strategis menguasai Laut Cina Selatan melalui berbagai tahapan maupun opsi. 

Selain rekomendasi terselubung Kaplan untuk memperkuat kekuatan militer AS di Asia Pasifik, Hugh White sebagai pakar studi strategis dari Australian University, juga merekomendasikan hal yang secara teknis sejalan dengan rekomendasi Kaplan. 

White malah sudah sampai pada sebuah proyeksi bahwa AS akan menggantikan peran Cina sebagai pendominasi kawasan Laut Cina Selatan. Dengan merangkul Cina, India, Jepang  sebagai kekuatan utama di Asia namun tetap dalam orbit AS. Seperti juga halnya di Eropa Perancis, Jerman dan Inggris sebagai kekuatan utama di Eropa. 

Namun model ini diterapkan dengan asumsi bahwa AS akan memanfaatkan kekhawatiran Jepang terhadap kemungkinan Cina sebagai kekuatan dominasi tunggal di Laut Cina Selatan. 

Terhadap kedua rekomendasi dua pakar studi strategis tersebut, jelas lah sudah bahwa AS secara sadar dan sistematis bermaksud mengincar kawasan Laut Cina Selatan, dan tentunya saat ini sedang menggalang persekutuan militer dengan negara-negara di seputar Laut Cina Selatan. 




0 komentar:

Post a Comment