Clock By Blog Tips

Wednesday, January 5, 2011

Sudan Selatan Merdeka?


Benarkah Sudan berada dipersimpangan jalan? Mungkin ia, dan mungkin tidak. Pemerintah Sudan menghadapi tekanan internasional yang begitu kuat, terkait dengan Sudan Selatan. Solusinya referendum yang akan digelar bulan Januari ini. Inilah saat yang akan menentukan apakah Sudan Selatan akan memilih merdeka dan memisahkan diri dengan Sudan Utara,yang mayoritas muslim.

Konflik di Sudan Selatan sudah berlangsung lebih 22 tahun. Baru berakhir 2005, melalui perjanjian damai, dan referendum merupakan bagian dari perjanjian perdamaian yang ditandatangani dengan pemerintah yang dipimpin Presiden Omar Hasan el Bashir.

Sebelumnya perang yang panjang antara pasukan pemerintah dengan pemberontak di Selatan, menewaskan hampair 2 juta pnduduk. Lebih banyak lagi yang kehilangan tempat tinggal, dan terjadi kelaparan yang masif. Mungkin sesudah referendum, mungkin harus ditulis ulang sejarah tentang tapal batas Sudan.

Sesudah 54 tahun merdeka, mungkin hanya referendum pilihan yang dapat mengkhiri konflik di Sudan. Tetapi, semuanya yang berlangsung di Selatan, tak lain, sebuah skenario Barat dan Israel, yang ingin melemahkan dan memecah negara paling luas di Benua Afrika ini.
Sudan negara yang begitu dengan sumber daya alam. Sumber daya alamnya sangat melimpah. Negeri yang berada didaratan Afrika ini tergolong subur, karena dialiri sungai Nil, yang membentang ribuan mil dari sumber mata air nya di Kongo.

After 54 years in existence - the majority of those in civil war - the splitting of Sudan is all but inevitable with the upcoming referendum that will most likely see the South going its own way.
Memang, bagian Utara Sudan terdiri gurun pasir yang membentang ribuan mil, dan sebagian sekarang sudah dialiri sungai Nil, dan Sudan yang beribukota Khartoum itu, sangat kaya dengan sumber mineral, termasuk minyak. Inilah yang sekarang mengapa Sudan menjadi rebutan. Sudan negara yang masih ketinggalan, karena dua pertiga penduduknya belum dapat membaca dan menulis.

Selama lima tahun sesudah perjanjian damai, Selatan masih belum dapat mengubah kehidupan rakyatnya. Rakyatnya tetap miskin dengan penghasilan rata-rata hanya $ 1 dolar perhari. Sampai 2010 ini, Selatan masih membutuhkan bantuan makanan dari PBB.

Seperempat penduduk di Selatan, buta huruf. 92 persen wanita di Selatan buta huruf, tidak dapat membaca dan menulis. Hanya 2 persen anak-anak di Selatan,yang masuk sekolah dasar. Itupun tidak ada guru yang cukup, dan sarana pendidikan yang sangat terbatas.

Angka kematian penduduk sangat tinggi. Rata 2000 yang meninggal dari 100.000 penduduk yang hidup. Selatan yang kaya minyak itu, masih belum dapat mengelola sumber daya alamnya, dan kemungkinan Israel dan AS, yang akan mengelola. Karena itu, yang berada dibelakang referendum ini, tak lain, adalah Israel dan AS. Mantan Presiden Jimmy Carter sekarang sudah berada di Khartoum, yang akan memantai referendum, yang sebentar lagi akan digelar.

Pemerintah Hasan el Bashir terus dipojokkan oleh AS dan Israel, karena dituduh mendukung teroris, dan Sudan mendapatkan sanksi. Bahkan Presiden el Bashir mendapatkan ancaman dari ICC, yang akan menangkapnya karena dituduh melakukan 'genoside' di Selatan. Semuanya tuduhan itu sifatnya hanya rekaan belaka yang tujuan untuk menekan Sudan.

Dengan sanksi itu, sejatinya AS dan Israel hanya ingin membuat Sudan bertekuk lutut, kemudian mereka menguasai minyak Sudan yang melimpah, yang sangat dibutuhkan oleh AS dan Israel.
Anehnya, negara-negara Arab mendukung Selatan, dan membiarkan utara dikeroyok oleh AS dan Israel. Arab Saudi dan Mesir mendukung upaya referendum, dan keputusan referendum itu hanya akan membelah Sudan, negara yang paling luas di Afrika itu.

eramuslim

Beware | Interesting

0 komentar:

Post a Comment