Lebih dari enam ribu serangan udara NATO selama hampir tiga bulan di Libya, telah memporak-porandakan negara Afrika Utara itu. Kerugian politik misi seperti ini juga cukup membebani negara-negara anggota NATO. Seiring berlalunya waktu, krisis dan perang Libya semakin buruk dan rumit. Sejak Dewan Keamanan PBB meratifikasi dua resolusi atas Libya, NATO mulai menemukan kesempatan untuk melakukan intervensi militer di negara tersebut.
Banyak pihak berasumsi bahwa diktator Libya Muammar Gaddafi akan segera tumbang, namun perjalanan waktu membuktikan kesalahan prediksi itu. Operasi militer NATO di Libya tampaknya mengalami erosi yang sangat parah. Pasukan NATO hingga kini telah melancarkan 6.000 kali operasi udara di Libya dan meski berhasil memperlemah militer Gaddafi, tapi efek serangan itu sangat kecil dalam perubahan keseimbangan kekuasaan antara rezim Gaddafi dan kelompok oposisi.
Kebanyakan analis militer percaya bahwa operasi NATO baru-baru ini di Libya bisa dikatakan sebagai salah satu tindakan militer terlemah organisasi ini setelah Perang Dingin. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa operasi tersebut tidak memiliki kekompakan yang diperlukan. Misi itu hanya melakukan serangkaian serangan bom yang tersebar ke beberapa titik dan kadang-kadang tanpa sasaran yang jelas. Aksi seperti ini tidak memiliki dampak signifikan dan bahkan terkadang menyebabkan tewasnya pasukan revolusioner dan warga sipil.
Tidak diragukan lagi bahwa operasi yang panjang di Libya, akan meningkatkan biaya politik negara-negara anggota NATO dan pada akhirnya, biaya-biaya ini akan mencekik leher NATO.Salah satu alasan rapuhnya operasi NATO di Libya karena hanya mengandalkan serangan udara dan belum melakukan perang darat. Dengan kata lain, negara-negara yang terlibat intervensi militer di Libya, tengah berupaya untuk menghindari agar tidak terjebak dalam kubangan seperti di Afghanistan, tetapi metode ini juga telah menempatkan NATO pada posisi sulit dan tidak efektif.
Alasan lain ketidakefektifan misi itu karena tidak adanya pendekatan seragam negara-negara anggota NATO terhadap perang di Libya. Beberapa negara NATO termasuk Jerman, percaya bahwa operasi militer di Libya harus dilakukan sesuai resolusi PBB 1973, yaitu hanya untuk melindungi warga sipil, dan bukan menggulingkan Gaddafi. Namun, beberapa negara anggota lainnya termasuk Inggris dan Perancis, meyakini bahwa dimensi serangan harus mengarah pada penggulingan Gaddafi.
Pengalaman di Libya telah memunculkan keraguan di banyak negara Barat. Mengingat adanya silang pendapat dan perbedaan pendekatan di NATO, aliansi militer ini tidak bisa lagi menjadi algojo Dewan Keamanan PBB. Di sisi lain, salah satu masalah yang dihadapi Barat adalah situasi politik pasca Gaddafi dan krisis kepercayaan terhadap oposisi Libya. Keraguan terhadap kemampuan oposisi untuk mengatur negara setelah Gaddafi dan juga adanya pandangan ekstrim di kalangan oposisi, termasuk isu-isu yang mengemuka di kalangan pejabat negara-negara Barat.
Irib-Radio Iran
0 komentar:
Post a Comment