Clock By Blog Tips

Tuesday, November 23, 2010

"Pengebom Setengah Abad", Andalan Baru AS di Afghanistan


Pesawat pengebom B-1 merupakan andalan baru AS dalam menghadapi kekuatan taliban di Afghanistan. Pesawat itu diklaim memiliki beberapa kelebihan daripada drone. (Foto: Wired)
Pesawat pengebom B-1 merupakan andalan baru AS dalam menghadapi kekuatan taliban di Afghanistan. Pesawat itu diklaim memiliki beberapa kelebihan daripada drone. (Foto: Wired)

 
KABUL – "Hawk Nine One, di sini Hard Rock. Kami sedang menahan tembakan dari bangunan yang terletak 50 meter sebelah utara Objective Tiger, kami meminta izin menyerang sasaran, ganti." Suara di radio tersebut tegas meski tak terlalu keras.

Hawk Nine One, sebuah pesawat B1 Bomber, menanjak tajam dan melakukan manuver udara ke arah kanan. Di bawah badan pesawat terbang yang berwarna abu-abu metalik, terlihat benda berbentuk torpedo mengarah ke tanah yang terletak 5.486 meter di bawah pesawat, memproses data inframerah, dan gambarnya terlihat di monitor di kokpit.

"Hard Rock, Hawk Nine One, baik, ganti," kata Kapten Erick "Sis" Lord kepada pasukan infanteri yang ada di darat. Lord yang nyaris tidak terlihat di balik helm, penutup muka, dan masker oksigennya, adalah seorang operator sistem persenjataan (WSO atau "Whizzo") di kursi belakang.

Ia terikat di kursi lontarnya yang dijejalkan ke serangkaian radar dan layar video serta berbagai tuas yang terhubung dengan 11 ton bom yang dibawa pesawat jet itu.
Pesawat supersonik B-1 tersebut dirancang nyaris setengah abad lalu untuk melakukan penyerangan di dalam kawasan Uni Soviet dengan bom-bom termonuklir. Yang mengagetkan, pesawat tersebut menjadi salah satu senjata paling efektif dalam perang di Afghanistan.

Kapasitas muat bom pesawat itu bukan satu-satunya alasan, yang jadi alasan adalah kemampuan mesin jetnya untuk mengudara selama berjam-jam dan penggunaan sensor baru untuk memindai daratan, menemukan para prajurit Taliban, mengawasi bangunan-bangunan terpencil untuk melihat siapa yang datang dan pergi, mendeteksi bom-bom pinggir jalan, dan terkadang bahkan memergoki anggota Taliban yang menanam bom rakitan.

Sensor baru tersebut, serta kerja imajinatif dari para kru B-1 menciptakan taktik udara baru untuk sebuah pesawat pengebom supersonik, seperti melakukan pengintaian di depan prajurit rekan untuk menemukan posisi musuh dan kemudian memancing mereka untuk diserang atau membantu para prajurit menghindari pertempuran yang tidak perlu.

Dalam salah satu misi terbaru di Afghanistan, Kapten Dan Alford, seorang Whizzo B-1, menggunakan sensor televisi dan inframerahnya dari ketinggian untuk menemukan sebuah unit pasukan Amerika dan memandu helikopter untuk menjemput mereka, memindai kawasan sekitar untuk memastikan tidak ada yang menyelinap dari sisi bukit.

Dengan tangki bahan bakarnya dan mesin pendorongnya yang besar, B-1 – tidak seperti drone tanpa awak yang lamban – bisa terbang ke seluruh penjuru negara untuk melindungi para prajurit AS yang mendapat serangan.

"(Pesawat) itu adalah kendaraan yang hebat," kata Jenderal David Petraeus, komandan tertinggi perang di Afghanistan. "Kami tidak terus-terusan menjatuhkan bom. (Pesawat) itu ada di atas sana dan menunggu."

Pesawat-pesawat B-1 akan terbang dalam 1.000 misi di atas langit Afghanistan tahun ini. Secara kasar, jumlah itu sama dengan tahun lalu dan pada tahun 2008. Tapi, jumlah bom yang dijatuhkan dalam misi-misi penerbangan itu menurun tajam, dari sekitar 1.330 pada tahun 2008 menjadi sekitar 660 tahun lalu, dan berkurang setengahnya tahun ini.

Dalam serangan kali ini, di sebuah misi latihan di atas Texas Barat, Hawk Nine One membawa campuran bom presisi seberat 907 kilogram dan 226,8 kilogram. Kemudian memastikan pada komandan darat, "Hard Rock," yang unitnya berada di dekat sebuah "desa" yang dilindungi dari serbuan gerilyawan. Tapi, bukannya menjatuhkan bom, sang komandan ingin mengusir para gerilyawan, memaksa mereka menyudahi tembakan dan lari.

Para kru Hawk Nine One mematuhinya. Saat Lord memeriksa ulang koordinat lokasi Hard Rock, Kapten David "Smoke" Grasso, sang pilot pesawat, menambah kecepatan dan mendorong kemudi ke depan, menukik tajam dan cepat ke arah tanah.

Jika para gerilyawan melihat ke atas, mereka akan sekilas melihat benda seperti panah seberat 95 ton yang diam-diam menukik ke bawah ke arah mereka dengan kecepatan 600 mil per jam.
Tapi, kali ini strategi itu tidak efektif.

"Hawk Nine One, Hard Rock, ada korban, butuh bantuan segera. Butuh tembakan efektif ke arah gedung putih di utara sasaran, bagaimana, ganti?" Setelah itu, di tengah suara Kendali Udara Taktik Gabungan (JTAC), Grasso dan Lord bisa mendengar tembakan senjata mesin besar kaliber 50. "Hard Rock, Hawk Nine One, baik, minta sembilan data dan inisial komandan, ganti."
Untuk menghindari kesalahan, saat JTAC membaca koordinat target, setidaknya dua dari empat kru pengebom mengecek ulang angkanya, kemudian diperiksa lagi di peta yang terlihat di komputer masing-masing, kemudian dibandingkan dengan video target yang terlihat di siang hari dan melalui inframerah di malam hari.

Hal itu dapat dilakukan dengan mudah karena JTAC di darat dan Lord di ketinggian 5.486 meter melihat video yang sama di monitor masing-masing. JTAC bisa mengatakan, "Gerakkan kursormu ke kiri, kurang sedikit. Ya! Itu targetnya."

Dari kursinya di kanan depan, Grasso berbicara dengan Lord dan JTAC mengenai tipe senjata yang digunakan. Gedung kecil tersebut telah dipantau selama berhari-hari. Gedung itu telah lama ditinggalkan hingga dikuasai Taliban untuk menyergap pasukan AS. Gedung itu kecil, jadi Lord memilih bom seberat 226,8 kilogram dan memilih sumbu tunda seperti permintaan Hard Rock, jadi bom itu akan melesak ke tanah selama beberapa milidetik sebelum meledak, mengurangi lontaran kepingan bom.

Tapi, penerbangan itu mahal, berat bagi kru dan teknisi pemelihara. Para kru harus tetap terjaga dan meminum Ambien untuk membantu mereka tidur di jam yang di luar kebiasaan. Sebuah misi selama 12 jam menelan biaya $698.988, lebih dari dua kali biaya operasional pesawat F-15 yang hanya punya dua mesin, setengah dari B-1.

Tiap empat jam di udara, B-1 membutuhkan rata-rata pemeliharaan 47,4 jam. "Bone (nama sebutan B-1) adalah mimpi buruk teknisi pemeliharaan," kata teknisi Angkatan Udara Kopral Satu Jacques Boddy, teknisi perbaikan B-1 di Pangkalan Udara Dyess, Texas. "Dari seluruh pesawat Angkatan Udara Amerika Serikat, pesawat itu paling berat pemeliharaannya."
B-1 diterbangkan di Afghanistan tanpa henti sejak tahun 2001, meski punya masalah pemeliharaan, "(Pesawat) itu memenuhi tiap-tiap persyaratan," kata Letjen Philip Breedlove, ketua perencana dan operasi Angkatan Udara.

Tetap saja, armada pesawat B-1 sebanyak 66 unit dijadwalkan menjalani upgrade senilai $1 miliar, dan AU akan mengandalkan Bone selama 30 tahun ke depan. (dn/pd)

suaramedia

Beweare | Interesting

0 komentar:

Post a Comment